Satu kata yang menggambarkan keadaan Riana saat ini. Kaget.
Tentu saja Riana kaget! Alasannya? Sudah tentu sikap Gilang yang benar-benar di luar nalar. Lebih-lebih, sikap pedulinya yang terlihat begitu manis membuat hati Riana cenat-cenut tidak karuan. Jangan salahkan Riana, karena ia hanyalah cewek normal yang bisa merasa baper. Apalagi yang bersikap manis adalah orang yang selama ini diincarnya mati-matian.
Kepala Riana penuh dengan berbagai pertanyaan. Kenapa Gilang terlihat begitu peduli? Padahal selama ini cowok itu selalu acuh akan keberadaan dirinya?
Belum selesai keterkejutan yang dirasakan Riana, tahu-tahu Gilang sudah menuntunnya untuk melingkari pinggang cowok itu. Mata Riana terbelalak. Asal tahu saja, ini pertama kalinya Riana memeluk cowok selain abangnya. Dan parahnya, orang itu adalah Gilang. Mengingat hal itu, entah kenapa justru membuat kedua pipi Riana memerah padam.
Sebenarnya, Riana ingin menolaknya. Namun, genggaman tangan Gilang terlalu erat. Sepertinya, Gilang tahu bahwa Riana hendak menolak. Jadi ia mengantisipasinya terlebih dahulu. Lagipula, sesak yang dirasakan Riana kian terasa. Tenaganya tidak sebanyak itu untuk memberontak.
Selama Gilang kebut-kebutan di jalan, Riana lebih memilih untuk menutup mata sembari mengatur nafasnya yang mulai mengi. Dapat Riana rasakan usapan dikedua tangannya, dan ia yakin seratus persen bahwa usapan itu berasal dari Gilang. Ingin rasanya Riana mengatakan bahwa usapan itu tidak berdampak apapun pada tubuhnya, namun justru berdampak pada hatinya yang sudah melompat-lompat kegirangan di dalam sana.
Karena faktor jalan yang lebih lengang, keduanya sampai di rumah Riana dengan lebih cepat. Begitu gerbang dibuka oleh satpam, Gilang langsung masuk ke halam rumah Riana dan memberhentikan motor tidak jauh dari pintu utama. Mungkin karena mendengar suara motor, Farren yang sudah sejak tadi menunggu kedatangan Riana langsung keluar.
"Gilang? Lo ngapain—"
Ucapan Farren terputus begitu melihat Gilang membopong Riana. Dapat ia lihat, adiknya tengah kesulitan mengatur nafas. "ANA!!"
Gilang mendudukkan Riana di kursi teras. "Bang, tadi asma Riana kambuh, jadi gue buru-buru anter dia pulang. Ada inhaler?"
Farren segera memanggil Bi Jum untuk mengambilkan inhaler milik Riana. Sembari menunggu Bi Jum datang, Farren mendekat untuk melihat kondisi adiknya. Ternyata mengi Riana semakin terdengar nyaring, dan wajahnya semakin memucat. Jantung Farren terasa mencelus begitu sadar bahwa bibir Riana mulai berubah warna. "Kita ke rumah sakit!"
"B-bang enggak—"
"Diem, Ana! Bibir lo itu udah berubah warna! Gue takut lo kenapa-napa. Pokoknya, kita ke rumah sakit dan nggak ada bantahan sama sekali!"
Farren berlari ke arah garasi dan segera mengeluarkan mobil. Begitu Bi Jum tiba, Farren segera mengambil obat Riana dan membopong adiknya. "Gilang, lo yang pegang kemudi. Gue duduk di belakang buat bantuin Riana pakai inhaler."
Tanpa banyak protes, Gilang segera mengangguk dan memutari mobil untuk duduk di balik kemudi. Begitu dirasa siap, Gilang langsung menjalankan mobil tersebut. "Bang, gue izin ngebut."
Farren mengangguk seadanya. Di jok belakang, ia sedang sibuk membantu Riana memakai inhaler untuk mengurangi mengi. Namun, inhaler tidak membantu banyak dan hanya dapat mengurangi sedikit rasa sesak Riana.
Gilang yang melihat kondisi Riana dari pantulan kaca langsung menambahkan kecepatan. Untuk kali ini, prioritas Gilang hanya lah Riana. Karena melihat cewek itu kesakitan, entah mengapa membuat Gilang terusik.
*****
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya dokter yang menangani Riana segera ke luar. Farren langsung saja berdiri. "Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Farren panik. Wajar saja Farren panik, karena ia tahu bahwa mental Riana pasti sempat drop akibat kedatangan Gio tadi. Farren jadi merutuki dirinya yang teledor meninggalkan Riana sendirian di rumah.
"Pasien sedang menjalani pengobatan, sebentar lagi akan selesai."
"Nggak ada yang bahaya kan, Dok?"
"Untuk saat ini tidak ada. Hanya saja, saya menyarankan pasien agar jangan terlalu stres atau kelelahan. Dan jangan lupa ingatkan pasien untuk selalu membawa inhaler."
Gilang menghela nafas lega. Syukurlah tidak ada yang fatal. "Baik, Dok. Terimakasih."
Doker tersebut mengangguk ramah dan segera beranjak pergi. Tidak lama setelahnya, Riana keluar dari ruangan yang sama dengan dokter tadi. Tidak ada yang berbeda. Wajah Riana masih pucat, hanya saja tertutupi oleh senyuman lebarnya. "Halo, Bang!!"
Farren memandang kesal ke arah Riana. "Halo halo apa, hah?!"
Riana meringis kecil. "Jangan marah-marah dong, Bang!"
"Sebenernya, gue nggak mau marah-marah sama lo. Tapi, lo ngeselin banget, sih! Kenapa tadi pergi nggak bilang-bilang? Mana handphone nggak dibawa lagi! Untungnya lo ketemu sama Gilang. Coba kalau enggak? Bisa-bisa lo pingsan di tengah jalan, Ana!" ucap Farren sambil merangkul Riana menuju tempat parkir.
Riana tersenyum tanpa dosa. "Ya maap atuh, Babang Ganteng! Kan, gue nggak tahu kalau bakal ada acara sesek segala."
"Makanya kalau keluar itu pakai jaket!"
"Iya iya! Bawel banget, deh! Btw, makasih ya Kak Gilang! Kalau enggak ada Kakak, mungkin aku bakal kaya apa yang dibilang sama abang tadi," ucap Riana sambil tersenyum lebar-lebar.
Gilang bergumam seadanya, namun tak ayal merasa lega begitu melihat Riana dalam keadaan yang lebih baik. Terlebih, ketika senyum lebarnya sudah kembali tersungging. "Makanya lain kali jangan nekat."
"Nekat? Emangnya aku nekat, ya?" tanya Riana sembari masuk ke dalam mobil dan duduk di jok belakang yang bersebelahan dengan Gilang. Kali ini Farren yang gantian mengemudikan mobil.
Gilang mendengus geli. "Kabur dari rumah nggak pakai jaket padahal lagi dingin, plus enggak bawa HP sama dompet. Apalagi ngebiarin tangan berdarah-darah kaya tadi. Itu namanya apa kalau bukan nekat?"
Riana mengangkat satu jari telunjuk dan meletakkan di depan mulut, menyuruh agar Gilang tidak bicara lebih jauh lagi. Namun pendengaran Farren tidak kalah tajam. Langsung saja orang yang berstatus sebagai kakak kandung Riana itu menatapnya lurus-lurus. "Bener apa yang dibilang sama Gilang? Bukannya kamu udah janji buat nggak ngelukain diri sendiri lagi? Kemana janji kamu, Ana?"
Mati gue!
"B-bang, dengerin gue dulu. Tadi itu—"
"Sebagai hukuman, besok lo enggak boleh sekolah," putus Farren.
"Abang!! Kok, gitu, sih? Kan, Ana tadi—"
"Apa? Mau kasih alasan kalau nggak sengaja? Enggak usah cari-cari alasan, deh!"
Riana memajukan bibirnya kesal lantas menoleh ke arah Gilang. "Puas?!"
Gilang tersenyum miring. "Puas, dong. Gue juga setuju sama abang lo, kalau lo itu perlu dikasih hukuman."
"ARGHH! KALIAN SEMUA NGESELIN!!"
*****
Seperti apa yang dikatakan Farren semalam, hari ini Riana tidak diperbolehkan sekolah. Padahal Riana sudah bangun pagi-pagi sekali untuk pergi diam-diam ke sekolah. Tapi ternyata, Farren tidak main-main dengan keseriusan ucapannya. Tadi, saat hendak keluar dari kamar, Riana baru sadar bahwa kamarnya sudah dikunci dari luar. Dan sialnya, Farren juga menyembunyikan kunci kamar yang dipegang Riana.
Dasar abang sialan!
Karena jam sudah menunjukkan pukul delapan, Riana memilih mengganti seragamnya dengan baju santai. Walaupun memaksa berangkat, toh pada ujungnya Riana akan terlambat. Jadi, lebih baik ia menurut saja pada ucapan Farren.