Sebenarnya, apa arti dirimu bagiku?
*****
"Loh, Kak Pandu, kok, ada di sini?"
Pandu menyengir lebar sambil mengayunkan sebelah tangannya. "Haloo!!"
"Bu Laras bilang, anggota buat olimpiade minimal tiga orang. Jadi Bu Laras nunjuk Pandu," jelas Gilang sambil menarik satu kursi kemudian mendudukinya.
"Loh, Kak Pandu dibolehin sama pihak sekolah? Bukannya kelas dua belas disuruh buat fokus sama persiapan ujian?" tanya Riana heran.
Pandu menggeleng pelan. "Awalnya sih, gue kira juga gitu. Tapi ternyata, sekolah kasih gue kesempatan lagi. Katanya, sebagai olimpiade terakhir sebelum ujian. Lagipula, ujiannya kan, masih lama, Na."
Riana mengangguk paham. "Ohh, jadi gitu."
"Wajah lo tadi kaya kaget banget kalau gue bakalan jadi partner kalian. Kenapa emangnya, Na? Takut waktu berduaan lo sama Gilang keganggu, ya?" tanya Pandu dengan nada dan mata yang bersinar geli. Sedetik kemudian, sebuah komik melayang dan tepat mengenai kepala Pandu. "Aduuh! Sakit tau, Lang!"
"Makanya punya mulut itu dikontrol!"
Mendengar ucapan Pandu berusan, justru membuat Riana menggeleng salah tingkah. "Kak Pandu ada-ada aja, sih! Kan, gue di sini buat ikut olimpiade. Bukan buat berduaan kaya gitu!"
Yah, meski gue juga untung karena bisa lihat wajah Kak Gilang lebih lama, sih, batin Riana.
Pandu menyemburkan tawa begitu melihat wajah dan tingkah Riana yang begitu kentara bahwa gadis itu tengah salah tingkah. "Aduuh, muka lo merah banget, Na! Yakin enggak lagi salah tingkah, lo?"
"Dasar kakak kelas kampret!"
*****
"Gimana sampai sini? Kalian sudah paham?"
"Sudah, Sensei!"
Bu Laras mengangguk. "Belajar dari olimliade-olimpiade sebelumnya, kemungkinan materi dasarnya tidak akan jauh-jauh. Pasti akan ada menulis hiragana dan katakana, membaca, dan juga mendengar. Diantara ketiga itu, mana yang menurut kalian butuh latihan ekstra?"
"Mungkin di bagian mendengar, Sensei," ucap Pandu sambil membolak-balikkan kertas materi yang tadi sempat diberikan Bu Laras.
Bu Laras mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Senin nanti, kita akan latihan untuk mendengar. Saya harap, kalian bisa kosongkan jadwal untuk Senin besok."
Tiga murid di hadapan Bu Laras mengangguk. "Kami usahakan, Bu."
"Baiklah, saya rasa cukup untuk hari ini. Jangan lupa untuk sering-sering mengulang materi yang saya berikan tadi. Kalau begitu, kalian boleh pulang."
Setelah berpamitan, Pandu, Gilang, dan Riana segera ke luar dari ruang klub yang kebetulan hari ini kosong. Karena hari ini hari Jum'at, sekolah sepi lebih cepat dari biasanya. Banyak siswa yang memilih pulang lebih cepat untuk menanti weekend besok. Lagipula, hari Jum'at hanya dikhususkan untuk ekstrakurikuler pramuka bagi kelas sepuluh. Tapi karena ada bimbingan, Riana tadi izin untuk tidak mengikuti pramuka.
Merasa canggung berjalan dengan diapit oleh Gilang di sisi kanan dan Pandu di sisi kiri, Riana memilih untuk mempercepat langkahnya. "Hmm, aku duluan aja, ya? Udah sore juga, takut kalau abang udah nunggu di depan."
Pandu menaikkan satu alisnya. "Kenapa buru-buru? Nggak mau lebih lama berduaan sama Gilang?"
Gilang memutar bola mata malas. Lagi-lagi kakak kelas resek di sampingnya ini menggodanya. "Lo kenapa sih, Pan? Masalah hidup lo kurang, sampai-sampai ngurusin urusan orang lain?" tanya Gilang dengan nada sinis. Yah, walaupun Pandu adalah kakak kelasnya, Gilang tidak akan sudi memanggilnya dengan embel-embel 'kak'. Rasanya aneh saja. Lagipula, Pandu adalah orang yang bar-bar, suka ceplas ceplos, dan banyak tingkah. Dan bagi Gilang, semua itu sangat tidak mencerminkan sikap seorang kakak kelas.
"Wuihh, santai dong, bos!"
Karena merasa kedua kakak kelasnya akan berdebat sebentar lagi, Riana lebih memilih undur diri. "Kalau gitu, aku duluan aja. Permisi."
Begitu Riana sudah menghilang, Pandu kembali tertawa kecil. "Riana ternyata lucu juga, ya, Lang?"
Kata 'lucu' yang sempat keluar dari mulut Pandu, entah mengapa membuat Gilang merasa aneh. "Gue heran, kenapa lo bisa tahan buat nggak suka sama Riana, padahal dia selalu kejar-kejar lo. Emangnya, hati lo nggak kesentuh?"
Gilang terdiam mendengar pertanyaan Pandu barusan. Jujur saja, Gilang sendiri tidak tahu jawabannya. Apakah dirinya merasa senang apabila dekat dengan Riana? Yang jelas, akhir-akhir ini ia merasa sering khawatir dengan Riana. Apalagi jika gadis itu tengah sakit. Entah kenapa Gilang merasa sedikit aneh jika melihat wajah yang biasanya berseri-seri itu, menjadi pucat karena sakit. Namun, satu hal yang Gilang tahu, bahwa rasa khawatirnya itu merupakan bentuk sebuah kepedulian. Ya, hanya sekedar peduli. Tidak lebih.
"Enggak. Gue biasa aja."
"Ck, lo mah, emang nggak normal. Orang yang temenan sama buku doang, mana tahu soal perasaan?"
Gilang mendengus. "Justru lo yang aneh, Pan. Sekolah itu tempat buat cari ilmu. Bukan buat cari pacar."