Pagi ini Riana sudah bangun pagi-pagi sekali. Pukul setengah enam, ia sudah duduk manis di sepeda bewarna hijau tosca miliknya. Riana menyumpal telinganya dengan earphone, dan pada detik berikutnya musik-musik kesukaannya mulai terdengar.
Mumpung hari ini hari libur, Riana berinisiatif untuk berolahraga. Sebenarnya, setiap hari Sabtu Riana rutin berolahraga. Biasanya ia akan bersepeda menuju stadion yang berada tidak jauh dari rumahnya. Mungkin sekitar lima belas menit jika ditempuh dengan sepeda.
Sebelum berangkat tadi, Riana sudah mencoba membangunkan Farren untuk diajak berolahraga. Namun, Farren adalah orang terkebo sepanjang masa yang pernah Riana kenal. Kakaknya itu jika sudah tidur, tidak akan lihat-lihat waktu dan tempat. Bahkan Riana tadi sudah menendang-nendang Farren, tapi kakaknya itu masih tidak merespon sama sekali. Ia tidur seakan-akan sudah mati saja. Pada akhirnya, Riana memilih menyerah setelah ingat bahwa Farren pulang larut semalam.
Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama, Riana sudah sampai di stadion. Hari ini stadion terlihat lebih ramai. Mungkin faktor karena hari ini adalah hari libur. Begitu selesai memarkirkan sepeda, Riana segera memulai kegiatan joging. Riana memang lebih suka joging di lapangan bagian luar dibandingkan berolahraga di dalam.
Lima putaran sudah terlewati, dan Riana melewatinya dengan senyum yang terus tersungging di bibirnya. Namun begitu hendak memulai putaran selanjutnya, langkah antusias Riana langsung terhenti.
Di sana, beberapa meter dari tempat Riana berdiri, Gilang tengah membenarkan tali sepatunya. Riana yakin sekali bahwa seseorang yang tengah dilihatnya itu adalah Gilang. Walaupun Riana tidak melihat wajahnya, namun ia yakin seratus persen. Orang itu memang lah Gilang.
Seseorang yang kemarin telah membuat jantung Riana berdegup tak karuan.
Mata Riana membulat begitu sadar Gilang hendak mendongakkan kepalanya. Belum sempat Riana mengalihkan pandangan, sepasang mata dengan sorot tajam itu sudah menatapnya lebih dulu.
Debaran itu terasa lagi, bahkan terasa lebih menggila. Persis sama seperti kemarin saat dirinya menunggu pesanan sate ayam.
Flashback
"Kak Gilang mau juga, nggak? Enak, lho!!"
Gilang menggeleng kecil. Di rumah, pasti bibi sudah memasakkan makanan. Sayang jika tidak dimakan. "Nggak usah."
"Ya udah, deh. Mang! Sate ayamnya satu porsi, ya! Jangan lupa, sambelnya yang banyak."
"Siap, Neng!"
Sambil menunggu pesanannya, Riana meraih kursi untuk duduk di samping Gilang. "Kak Gilang kok tumben, enggak cuek? Bahkan, sampai mau nganterin aku pulang. Biasanya, kan, diajak ngomong aja enggak nyaut."
Gilang menoleh kemudian menatap wajah Riana. "Kenapa emangnya? Nggak suka?"
Riana menggeleng. "Bukannya gitu. Aku cuma heran aja. kaya bukan Kak Gilang yang biasanya."
Hening menguasai keduanya selama beberapa saat, sebelum panggilan dari Gilang membuat Riana menoleh.
"Na," panggil Gilang.
Riana yang sebelumnya sedang memainkan tisu di atas meja segera menoleh. "Ya? Kenapa?"
"Sampai kapan lo akan terus ngejar gue?"
Riana terdiam beberapa saat begitu mendengar pertanyaan Gilang. Saat ini yang dirasakan Riana hanyalah rasa takut. Takut bahwa saat ini Gilang akan mengatakan bahwa ia benar-benar merasa risih. Atau yang lebih buruknya lagi, merasa muak. Riana takut bahwa cowok itu akan menyuruhnya pergi dan menjauh secara paksa. Walaupun Riana tidak akan mundur, tapi tetap saja rasanya pasti akan sakit.
"Ke-kenapa kakak nanya kayak gitu?"
Kini Gilang menoleh dan menatap Riana. "Emang kenapa kalau gue tanya kaya tadi? Nggak boleh?"
Kenapa sekarang Gilang justru kembali bertanya? "Y-ya enggak, sih."
"Ya udah, jawab aja. Atau pertanyaan gue terlalu susah?"
Riana menggeleng. "Enggak ada susah-susah nya sama sekali. Soal pertanyaan pertama tadi, yang Kakak tanya bakal sampai kapan aku ngejar Kakak, jawabannya aku juga nggak tahu."
Gilang mengernyit. "Nggak tau?"
Riana mengangguk. "Iya, aku enggak tahu sampai kapan mau ngejar Kakak terus."
"Bukannya lo dulu pernah bilang kalau lo nggak akan mundur?"
Riana mengangguk. "Iya, itu bener. Aku memang bilang nggak akan mundur. Tapi, itu bukan berarti aku nggak akan pernah merasa capek."
Gilang terdiam membeku. Entah kenapa kata-kata Riana bisa membuat Gilang terdiam. Lebih hebatnya lagi, kata-kata tersebut seakan menampar Gilang.
Diamnya Gilang diartikan Riana sebagai permintaan cowok itu untuk meneruskan jawabannya barusan. "Kata Zoya, suka atau sayang sama orang lain itu boleh, selama masih pakai logika. Saat ini, aku memang ngejar Kakak. Tapi aku enggak tahu bakalan sampai kapan bakal perjuangin Kakak terus. Nggak mungkin, kan, aku bakalan ngejar sesuatu yang bahkan enggak terkejar?"
"Bukannya lo selalu merasa optimis? Kenapa kata-kata lo barusan berkebalikan dengan prinsip lo itu?"
Riana tertawa kecil. "Optimis itu emang harus kali, Kak. Tapi kalau aku udah berjuang, udah optimis, bahkan udah nunggu tapi nggak ada respon, ya berarti hal yang aku inginkan itu memang lebih baik enggak terwujud. Kadang, nggak semua mimpi dan harapan bakal jadi kenyataan, kan, Kak?"
Gilang terdiam selama beberapa menit untuk merenungi kata-kata Riana barusan. "Kalau gitu, jangan sampai lo merasa capek buat ngejar gue."
Riana menatap balik Gilang yang ternyata juga sedang menatapnya dengan dahi bergelombang. "Kenapa?"
"Karena gue nggak mau kalau lo sampai merasa capek. Gue maunya lo terus optimis."
Riana tertawa terbahak-bahak. "Kalau gitu, berarti Kakak egois, dong?"
"Bukannya egois buat hati itu nggak salah, ya?"
Riana kehilangan kata-kata begitu mendengar kalimat Gilang barusan. Apa dengan arti kata lain, Gilang juga memiliki perasaan yang sama dengannya?
"Apa jangan-jangan Kakak udah ada rasa sama aku?" tanya Riana dengan harap-harap cemas. Jujur saja, saat ini Riana berharap jawaban 'iya' atau sejenisnya akan keluar dari mulut Gilang.
Gilang terdiam sejenak, kemudian mengedikkan bahu. "Gue enggak tahu."
Riana tersenyum kecut. Kedua bahunya merosot. Mungkin, saat ini Riana berharap terlalu cepat. Waktu memang ajaib. Namun, ia tidak seajaib itu untuk merubah hati seseorang dalam waktu dekat.
"Tapi gue—"
"Neng, ini satenya udah selesai!"
Riana berdiri dari kursinya, kemudian mendekat ke arah penjual sate tersebut. "Makasih, Kang!"
*****
"Lo joging di sini?"
Riana meneguk air mineral yang baru saja ia beli. "Iya," balas Riana setelah berhasil meneguk air tersebut.
Gilang tak membalas apapun lagi. Sedari tadi ia sibuk menatap Riana. Bukan, ini bukan soal penampilan Riana yang aneh. Hari ini Riana tampak biasa saja. Yang aneh dari Riana adalah perilakunya. Biasanya Riana akan menatapnya dengan binar antusias ketika berbicara. Namun saat ini, cewek itu jelas-jelas menghindari kontak mata dengan Gilang.
Jelas saja itu aneh.
"Lo kenapa?"
Riana menggulung earphone miliknya. "Kenapa apanya? Aku nggak kenapa-kenapa."
Gilang mendengus. "Jawaban klasik semua cewek. Emang nggak ada jawaban lain?" sindir Gilang.
Riana menghela nafas panjang. "Aku baik-baik aja. Kakak aja yang aneh nanya yang enggak jelas."
"Gue enggak aneh. Yang aneh itu sikap lo yang seakan menghindar dari gue. Gue tanya sekali lagi, lo kenapa?"
Riana mengomel dalam hati. Kenapa dia bilang? Setelah kemarin cowok itu seakan memberikan harapan padanya lantas memberikan jawaban mengecewakan, cowok itu masih bisa bertanya kenapa? Dasar spesies aneh!
"Lo terganggu sama omongan gue kemarin?"
Deg!
"Diamnya lo berarti iya."
Riana membulatkan matanya. "Sok tahu, ih!"