Entah kenapa, masa lalu terkadang begitu kejam.
*****
"Dia udah kembali ke tempat yang sama kaya nenek."
Pandu mematung selama beberapa saat begitu kalimat tersebut meluncur dari mulut Riana. Jika cewek di hadapannya ini sedang tidak bercanda, berarti Hana sudah tenang di alam sana.
Riana mengamati raut wajah Pandu, dan rasa bersalahnya kembali muncul. Riana paham, mengapa setiap orang selalu terkejut ketika mendengar bahwa Hana sudah pergi. Sedari dulu, kakaknya itu memanglah pribadi yang peduli meski terlihat tak acuh. Jadi, bukanlah hal aneh apabila semua orang merasa kehilangan.
Raihana Kirei. Salah satu saudaranya selain Farren. Gadis yang lahir enam menit lebih dulu dari Riana itu memang selalu meninggalkan banyak kenangan. Hana memang orang yang tidak banyak bicara. Namun, sikap pedulinya selalu lebih besar daripada orang lain yang pernah Riana kenal. Karena hal itulah, memiliki saudara kembar seperti Hana adalah sebuah hal besar yang ia syukuri.
Hana akan bersikap cerewet apabila orang terdekatnya terluka. Selain sebagai seorang kakak, bagi Riana, Hana juga seperti seorang ibu. Hana pasti akan menjewernya habis-habisan begitu ia terluka ketika bermain. Hana juga akan mengomelinya panjang lebar ketika ia lupa meminum obatnya. Namun, meskipun begitu, Hana juga akan menjadi orang pertama yang mengobati Riana dan merawatnya ketika ia sakit.
Jika saja insiden mengerikan itu tidak terjadi, Hana pasti masih bersama dengannya saat ini. Kakak kembarnya itu pasti masih ada di dunia yang sama dengannya jika saja Riana tidak bertindak egois saat itu. Jika saja Riana tidak memaksa, pasti Hana masih bisa tersenyum sampai saat ini.
"Dia udah meninggal?"
Suara dengan nada sarat akan ketidakpercayaan itu membuat Riana tersadar akan semua lamunannya. Perlahan, Riana mengangguk pelan. "Iya, Kak."
Lagi-lagi Pandu terdiam guna mencerna semuanya. "Meninggal gara-gara apa, Na?"
Riana meraup wajahnya frustasi. Jika sudah seperti ini, mau tak mau ia harus menceritakan keseluruhannya pada Pandu. Sebenarnya Riana tak berkeberatan. Hanya saja, apakah Pandu juga akan memandangnya sebelah mata? Apakah setelah mengetahui semuanya, cowok itu akan turut menyalahkannya seperti Ayah? Dan yang terpenting, apakah dirinya siap untuk kembali mengingat memori kelam tersebut? Memori yang jika saja bisa, akan ia kubur dalam-dalam.
"Gue bakal ceritain, tapi nggak sekarang dan bukan di sini."
"Terus, lo mau cerita kapan?"
"Gue bakal ceritain besok, sepulang sekolah."
*****
Hari ini Riana tidak bersemangat menjalani hari di sekolah. Sedari tadi ia hanya menelungkupkan kepala, mencoret-coret buku tulis dengan pola abstrak, dan sibuk menyumpal telinga dengan earphone. Tentu saja hal itu membuat Zoya kebingungan. Karena tidak ada angin tidak ada petir, sahabatnya itu tiba-tiba bersikap aneh.
"Lo, tuh, kenapa, sih, Na? Dari tadi kayak nggak ada semangat sama sekali," tanya Zoya karena merasa tak tahan.
Riana melirik Zoya sekilas lantas menggeleng. "Gue nggak kenapa-kenapa."
"Ck! Gue kasih tahu, ya, Na. Lo itu enggak ada bakat buat bohong, tahu! Jadi, buruan kasih tahu gue, apa yang bikin lo jadi kaya gini?"
Riana menarik nafas dalam-dalam sebelum menyunggingkan senyuman lebar, hingga dua lubang kecil muncul di pipinya. "Zoya lucu banget, deh, kalau lagi perhatian kaya gini!"
Zoya mengernyit heran. Sekarang, ia justru merasa takut dengan sikap Riana yang berubah-ubah. "Lo kenapa, sih?!"
Riana tertawa. "Gue nggak kenapa-kenapa, kok. Lo aja yang mikir berlebihan. Gue cuma ngerasa males aja hari ini. Biasa, lah, nggak ada mood," jelas Riana.
Sebelum Zoya semakin curiga, Riana buru-buru menarik tangannya untuk pergi ke kantin. Namun, saat keduanya keluar melewati pintu, Riana langsung mengerem langkahnya karena melihat Gilang berdiri tepat di depannya. Untung saja mereka tidak bertabrakan. "E-eh, Kak Gilang? Ngapain di sini?"
Zoya mendongak begitu mendengar ucapan Riana barusan. Sontak, wajahnya berubah ceria. "Nah, mumpung ada lo, nih, Kak!"
Gilang yang awalnya menatap wajah Riana, kini berganti menatap Zoya. "Kenapa?"
Seolah paham dengan apa yang ingin Zoya lakukan, Riana buru-buru membungkam mulut ember tersebut. Namun, Zoya bergerak dengan lebih cepat. Secepat kilat, ia sudah menahan kedua tangan Riana lebih dulu. "Jadi gini, Kak! Tadi Riana bilang, kalau hari ini mood dia lagi nggak bagus. Nah, mumpung ada Kak Gilang, gue minta tolong hibur si Riana, ya!"
Riana semakin memberontak begitu mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Zoya. Sialan lo, Zoya! Emang lo kira, Kak Gilang itu badut?! batin Riana.
Gilang kembali menatap Riana. "Ikut gue ke rooftop!" ucap Gilang kemudian berbalik pergi.
Riana mengerjap selama beberapa saat. "Gue suruh ikutin dia, Zo?"
Zoya terkekeh geli. "Iya, lah! Buruan sana nyusul Kak Gilang! Semoga mood lo balik lagi, ya!" seru Zoya sembari mendorong tubuh Riana menjauh.
Karena sudah beberapa kali pergi ke rooftop, kini Riana tidak terlalu merasa takut lagi. Yah, meskipun ia masih sering terbayang-bayang kejadian saat pintu ruang musik bisa terbuka sendiri, sih. Tapi Riana selalu berusaha berpikir positif. Bisa saja, kan, waktu itu angin tidak sengaja membuat pintu itu terbuka?