Jantungnya masih berdegup tak karuan. Bukan, ia bukannya sedang jatuh cinta atau hal sejenisnya. Hal yang terjadi justru sebaliknya. Ia kaget setengah mati. Orang yang selama ini ia kira masih hidup, ternyata sudah meninggal. Orang yang selama ini selalu ia rindukan, ternyata sudah kembali pada pangkuan sang Pencipta.
Terkadang takdir memang kejam.
Selama beberapa tahun ini, Pandu benar-benar merasa kesepian. Memorinya selalu penuh dengan Hana. Bagaimana kabar gadis itu? Seperti apa wajahnya sekarang? Dan apakah ia masih bersikap jutek seperti biasanya?
Namun, saat ia sudah mendapatkan petunjuk dan berharap bisa bertemu dengan Hana, kenyataan justru menamparnya. Pada akhirnya, ia tidak bisa lagi melihat wajah Hana. Ia tidak bisa mendengar lagi suara bernada datar itu. Kenyataan baru justru memaksanya untuk sadar, bahwa perpisahan beberapa tahun lalu ternyata bukan hanya perpisahan biasa. Perpisahan yang benar-benar akhir dari segalanya.
Pandu menggeleng begitu pemikiran-pemikiran negatif hinggap di kepalanya. Bagaimanapun juga, meninggalnya Hana adalah salah satu rencana Tuhan. Dan apapun rencana Tuhan, pasti tidak akan ada yang salah sasaran.
"Lo tahu di mana makamnya Hana?"
Pertanyaan barusan tidak dihiraukan Riana sama sekali. Cewek itu justru semakin menenggelamkan kepalanya sembari menutup erat-erat telinganya.
"Na?"
Riana menggeleng keras. "Gue nggak bisa."
Pandu mengernyit tak paham. Belum sempat ia meminta penjelasan, Riana sudah terlebih dahulu memotong. "Gue nggak bisa nganterin lo ke sana, Kak."
Pandu mengernyit heran. Tidak mungkin, kan, Riana tidak tahu di mana lokasi Hana dimakamkan? "Kenapa?"
Lagi, Riana menggeleng. Semenjak Hana meninggal, ia tidak pernah mengunjungi makam kakak kembarnya itu. Bahkan saat proses pemakaman, Riana lebih memilih mengurung diri di kamar. Sebenarnya Riana sangat ingin mengunjungi makam kakaknya. Hanya saja, jika teringat penyebab kematiannya, Riana berubah menjadi tak sanggup.
Karena dirinya lah, Hana harus meninggal. Kata-kata tersebut terus berputar dan menggema di kepala Riana. Membuat rasa bersalah selalu muncul, dan membuatnya tak berani mendatangi makam Hana.
"Gue nggak sanggup, Kak."
Pandu menggeleng tak percaya begitu sebuah kesimpulan muncul di kepalanya. "Lo menyalahkan diri lo sendiri?"
Riana mendongak. "Buat apa menyalahkan? Toh, memang gue yang ngebuat Hana jadi kena sial. Gue yang bikin dia meninggal. Dan gue juga yang membuat semua orang kehilangan sosok Hana," ucap Riana panjang lebar dengan air mata yang kian menderas.
"Itu bukan salah lo, Na," ucap Pandu sembari menggeser posisi duduknya agar semakin dekat dengan Riana. Tangannya terulur untuk mengelus lengan Riana yang bergetar akibat tangisnya sendiri.
Riana tertawa hambar. "Gue capek dengerin kata-kata itu. 'Bukan salah lo, kok, Na,' atau 'itu nggak bener, kok.' Gue capek, Kak. Karena pada nyatanya, Ayah sendiri selalu menyalahkan gue. Selalu ngatain kalau gue itu anak pembawa sial."
Menyadari raut kaget Pandu, Riana kembali tertawa hambar. "Bukannya gue udah pernah cerita ke lo, ya, Kak? Waktu di rumah Kak Ara, gue cerita, kan, kalau gue punya masalah di rumah? Ya itu karena gue selalu dicap sebagai anak pembawa sial sama Ayah. Karena gue nggak cuma bikin Hana meninggal, tapi juga Bunda."
"Seminggu setelah Hana meninggal, asma gue jadi sering kambuh karena gue terlalu stress. Waktu itu, inhaler gue habis, dan Bunda nganter gue ke rumah sakit sendirian karena sopir baru pergi nganter Ayah. Di jalan, Bunda bener-bener panik. Sampai-sampai, beliau nggak sadar kalau waktu itu lampu berubah merah."
"Bunda kaget waktu ngelihat ada anak kecil nyebrang di jalan. Bunda mau banting stir, tapi ternyata udah terlambat. Mobil kami menabrak anak tersebut, setelahnya menabrak pohon di pinggir jalan."
Riana menundukkan kepalanya. "Gue kira, karena kecelakaan itu, gue bakalan nyusul Hana. Tapi lagi-lagi, apa yang gue pengenin nggak terjadi. Di kecelakaan itu, justru Bunda yang meninggal."
Satu tetes air mata kembali mengalir. Bunda dan Hana adalah kelemahannya. Mengingat mereka berdua, entah mengapa membuat Riana sedih, bersalah, sekaligus iri. Sedih karena dirinya ditinggal sendirian, merasa bersalah karena penyebab mereka pergi adalah dirinya sendiri, dan iri mengapa hanya ia yang tidak diajak untuk pergi bersama-sama?
"Gara-gara kecelakaan yang bikin Bunda nyusul Hana, Ayah jadi mulai kasar sama gue. Beliau bilang gue anak pembawa sial dan anak nggak berguna. Tapi, gue nggak bisa mengelak karena itu semua emang bener."
Pandu ikut menunduk begitu mendengar cerita Riana. Tidak ia sangka, ternyata Riana membawa beban seberat ini. Pandu tidak bisa membayangkan keadaan Riana begitu kehilangan Hana dan Bundanya di waktu yang berdekatan. Terlebih, sang Ayah yang seharusnya menemani dan menguatkan justru membuat Riana semakin terpojok dan tenggelam dalam jurang rasa bersalah.
Pandu mengeratkan rangkulannya pada Riana. Tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk membuat kepala Riana agar menengadah menatapnya. "Jangan sedih, lo masih punya gue sebagai tempat cerita, Na."
Riana mengangguk pelan sembari tersenyum samar. "Makasih, Kak."
Tanpa keduanya sadari, seseorang telah mengawasi mereka sedari tadi. Orang itu melihat semuanya. Bahkan, orang itu juga memfoto apa yang dilihatnya. Orang tersebut tersenyum miring. "Ternyata lo sejahat ini, Na."
*****
Masih sama dengan kemarin, hari ini Riana datang ke sekolah dengan tampang kusutnya. Semalam, ia tidak bisa tidur karena kembali terbayang kecelakaan yang membuat Hana dan Bunda meninggal. Setiap hendak memejamkan mata, kilas balik tersebut selalu muncul. Membuat Riana semakin tertekan.