Riana memandang sekitar. Kamar dengan dominan warna hijau tosca dan bau lemon tercium meskipun samar-samar.
Ini kamarnya.
"Udah sadar?"
Riana menoleh ke arah pintu. Di sana, Gilang berdiri dengan membawa nampan yang berisi piring dan segelas air putih. "K-kak Gilang."
Gilang menarik kursi belajar milik Riana setelah meletakkan nampan yang tadi dibawanya. "Kok, Kak Gilang bisa ada di sini?"
"Kalau lo lupa, lo tadi pingsan di parkiran sekolah."
Riana menyenderkan badannya pada kepala ranjang. "Pantes kepalaku rasanya pusing."
Gilang menghela nafas. "Kenapa lo bisa sebego ini?"
Riana memberengut begitu Gilang mengatainya seperti itu. "Aku nggak bego!"
Gilang memajukan wajahnya, lantas mendorong pelan kening Riana. "Nggak bego lo bilang? Udah tahu semalem nggak bisa tidur, tapi malah nggak makan apapun seharian ini sampai pingsan. Itu yang lo bilang nggak bego?!"
Mata Riana memicing. "Kak Gilang tahu dari siapa? Zoya, ya?"
Gilang mendengus. "Nggak penting gue tahu dari siapa, Na! Yang gue mau, lo nggak ngelakuin hal bego kaya gini lagi."
Riana melipat kedua tangannya di depan dada sembari menaikkan dagunya tinggi-tinggi. "Terserah aku, dong!"
"Enak banget lo ngomong terserah. Asal lo tahu, lo itu nyusahin orang lain, tahu, nggak?!"
Riana mendengus. "Oh, nyusahin, toh. Tapi, aku, kan, nggak minta Kak Gilang buat peduli. Kalau Kakak ngerasa repot karena harus nolong aku, ya nggak usah nolongin. Gitu aja kok dibawa ribet."
"Bukan itu yang gue maksud, Na," ucap Gilang dengan nada yang lebih lembut. "Gue nggak mau lo kenapa-napa."
Baru saja Riana berniat untuk mendiamkan Gilang, tapi ucapan cowok itu sudah terlebih dulu memorak porandakan niatnya. Kalau sudah begini, hatinya pasti akan berkhianat.
Gilang dapat melihat rona merah di pipi Riana meski samar-samar. Dan hal kecil itu membuatnya terkekeh. "Lo lucu kalau lagi salah tingkah."
Riana memukul sebelah lengan Gilang. "Apa, sih?! Nggak jelas!"
Gilang tertawa lagi. "Gue nggak mau lo kenapa-napa, Na. Jadi, jangan pernah ngelakuin hal bego kaya gini lagi. Paham?"
Riana memutar bola mata malas. "Siapa suruh nggak mau ngasih kesempatan buat ngejelasin? Kalau aja Kak Gilang mau dengerin aku dari awal, pasti aku nggak bakalan skip jam istirahat biar bisa ngomong sama Kakak."
Lagi, Gilang menyentil dahi Riana. "Oh, ya? Menurut gue, kalau kemarin lo nepatin janji, ini semua nggak bakalan kejadian."
Skakmat!
"I-iya juga, sih. Tapi, bakalan aku jelasin sekarang, kok! Kak Gilang dengerin, ya?"
Gilang mendengus sembari menggeleng. "Makan dulu," ucapnya seraya menyodorkan sepiring makanan.
Riana memanyunkan bibirnya. "Ck, aku jelasin dulu, ya? Jadi, kemarin itu—"
"Makan, atau gue nggak akan mau dengerin penjelasan lo!" ancam Gilang dengan tatapan mata yang kembali menajam seperti biasanya.
Riana mengangguk pasrah. "Iya, deh."
Riana menatapa uluran piring tersebut dan Gilang secara bergantian. "Suapin dong, Kak!"
"Dih, mendingan juga gue nyuapin sapi daripada nyuapin lo."
Pada akhirnya, Riana memilih makan sendiri dibandingkan harus terus mendengar makian Gilang. Karena kalau sudah memaki, cowok itu tidak akan pernah berhenti. "Ngomong-ngomong, Bang Farren nggak di rumah?"
Gilang yang sebelumnya tengah fokus pada handphone langsung mendongak. "Tadi gue udah telepon. Mungkin bentar lagi bakalan pulang."
Baru saja dibicarakan, Farren sudah datang sembari membanting pintu kamar Riana. "Ana, lo nggak apa-apa?"
Riana menatap kesal Farren. "Apa sih, lo, Bang? Alay banget!"
Farren mendekat lantas meletakkan telapak tangannya tepat di dahi Riana. "Syukur, demam lo nggak begitu tinggi."
Riana memindahkan telapak tangan Farren. "Gue tadi sempet demam di sekolah. Tapi, habis bangun tadi udah mendingan."
"Apa gue bilang tadi pagi? Disuruh izin dulu juga! Ngeyel, sih! Lagian apa susahnya sih, Na? Di rumah juga cuman rebahan."
Riana menggeleng. "Justru itu gue nggak mau. Kalau izin, yang ada gue bakalan suntuk."
Gilang mendengus. "Tapi, ke sekolah juga bikin badan lo capek. Bahkan, lo sampai pingsan. Gue rasa, lo emang beneran bego, Na."
Suara Gilang barusan, menyadarkan Farren akan kehadiran cowok yang lagi-lagi sudah menolong adiknya itu. "Eh, Lang, gue lupa kalau ada lo di sini. Thanks, ya, karena udah mau bantuin Ana."
Gilang mengangguk. "Santai aja, Bang."