Forelsket

Syafa Azzahra
Chapter #34

33 - Diancam Lagi?

Gilang memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Riana. Karena tadi jalan macet dan jarak restoran dengan rumah Riana cukup jauh, mereka memerlukan waktu yang lebih lama untuk pulang. Bahkan, hampir dua kali lipat lebih lama dibandingkan saat mereka berangkat tadi.

"Na, udah sampai."

Karena tidak ada sahutan, Gilang segera menoleh. Ternyata cewek itu sedang tertidur. "Na, bangun. Udah sampai," ucap Gilang sembari mengguncang pelan lengan Riana.

Namun, bukannya bangun, Riana justru bergerak gelisah. Gilang terkejut begitu melihat Riana mulai menangis. "Bunda... Hana... maafin Ana..."

Gilang mengelus pelan kepala Riana. Ternyata cewek ini sedang bermimpi buruk. "Shuuttt, tenang, Na."

Riana makin bergerak gelisah, dan tangisnya menderas. "Maaf..."

Riana menggeleng beberapa kali dan kembali meracau sebelum membuka mata karena terkejut. "Tenang, ini gue," ucap Gilang berusaha menenangkan Riana yang jelas-jelas sedang merasa takut.

Riana mengerjap beberapa kali sembari mengelap air matanya. Tangan Gilang beralih ke punggung Riana. "Mimpi buruk?"

Riana mengangguk sekilas. "Udah sampai?" tanya Riana dengan suara serak. "Udah, barusan aja."

Riana merapikan rambutnya yang tergerai. "Kalau gitu, aku masuk dulu. Thanks, Kak, udah mau nganterin."

Tangan Riana terulur hendak membuka pintu mobil, namun Gilang buru-buru mencegahnya. "Sori kalau omongan gue waktu di restoran tadi bikin lo kepikiran," ucap Gilang. Melihat Riana bermimpi buruk tadi, entah mengapa membuat Gilang tersadar bahwa mungkin, ia terlalu menyudutkan Riana. Sampai-sampai cewek itu terbawa mimpi buruk. 

Riana menggeleng. "It's fine. Aku paham maksud Kakak, kok. Nggak perlu minta maaf. Aku turun, ya?"

Gilang mengangguk sebagai persetujuan. "Sampai ketemu besok, Na."

"Sampai ketemu besok juga, Kak. Hati-hati di jalan."

Begitu selesai berpamitan, Riana langsung memasuki rumahnya. Dan begitu membuka pintu, kegelapan langsung menyelimutinya. "Eh? Kok, gelap gini, sih?"

Riana segera menyalakan lampu sembari mengambil handphone di tasnya. "Bang Farren nggak di rumah kali, ya?" tanya Riana sambil melihat beberapa pesan yang masuk, dan salah satunya berasal dari Farren. 

Abangku sayang:3

Gue keluar sebentar sama Bi Jum. Tadi katanya ada yang mau dibeli.

Tenang aja, lo nggak sendiri. Ada Pak Mul yang nemenin lo.

Riana menggeleng pelan. "Emangnya gue bocah, apa? Ditinggal sendiri juga gue nggak masalah, kali!"

Setelah beberapa saat, handphone Riana mulai berkedip-kedip, sebelum akhirnya mati karena kehabisan baterai. "Yah, baterainya abis!"

Baru saja ia berniat untuk mencharger handphone, lampu yang tadi sudah dinyalakannya kembali mati. "Eh?! Kenapa, nih? Mati listrik, ya?" gumam Riana.

"Pak Mul!! Bapak di mana??" teriak Riana. Ia mencoba menekan-nekan saklar, tetapi hasilnya nihil. "Ck, beneran matlis, nih! Lilin di mana, ya?"

Riana berjalan ke arah dapur. Seingatnya, di laci meja dapur ada beberapa kotak lilin dan juga korek api. Begitu selesai mengobrak-abrik laci, akhirnya ia menemukan apa yang dicari. Karena gelap benar-benar menutupi pengelihatannya, Riana buru-buru menyalakan lilin. Walaupun hal tersebut terasa sulit karena ia harus meraba-raba.

Setelah lilin menyala, akhirnya Riana bisa bernafas lega. Meskipun ia tidak takut gelap, tetap saja sendirian di rumah besar tanpa ada cahaya membuatnya sedikit keder. 

Brak!

Riana berjengit kaget. Barusan, itu, suara benda jatuh, kan? "Pak Mul!! Itu bapak, ya?" teriak Riana lagi.

Namun, tidak ada balasan sama sekali. Yang terdengar justru suara benda jatuh lagi. Dan itu sukses membuat bulu kuduk Riana meremang. "Duh, itu bukan setan, kan?"

Sambil membawa sebuah lilin, Riana nekat berjalan menuju ke ruang keluarga dimana suara tadi berasal. Dan seperti yang ia duga, tidak ada siapapun di sana. Yang ada hanyalah sebuah vas yang sudah rusak. "Jangan-jangan ada maling?!"

Riana buru-buru meniup lilinnya agar mati. Jika benar rumahnya dimasuki maling, hal yang pertama kali harus ia lakukan adalah bersembunyi. Tentunya ia tidak sebodoh itu untuk membiarkan lilin tetap menyala. Bisa-bisa, posisinya saat ini justru ketahuan. 

Tapi, bisa saja itu ulah tikus, kan? Kenapa dirinya bisa yakin kalau itu maling? Riana menggeleng beberapa kali. Persetan itu tikus apa bukan. Yang terpenting, saat ini ia harus berjaga-jaga.

Riana menaiki tangga secara perlahan sembari meraba-raba pegangan tangga. Batinnya sedari tadi terus berdoa, semoga lampu bisa cepat menyala. "Bang Farren, cepetan pulang, dong!"

Begitu menemukan handel pintunya, Riana langsung membukanya secara perlahan-lahan. Dan begitu pintu kamarnya terbuka, Riana langsung menjerit sekeras-kerasnya. 

Bukan tanpa alasan Riana menjerit sembari menutup kedua matanya. Karena di sana, di balkon kamarnya, terdapat siluet berbentuk tubuh manusia. Orang yang entah siapa itu hanya berdiri dan berdiam diri di balkon. "SIAPA LO?! PERGI!!"

Duk!

Riana menggeleng keras-keras begitu orang misterius itu menggedor-gedor pintu balkonnya. "PERGI! GUE NGGAK KENAL LO!"

Duk! Duk! Duk!

Entah sejak kapan ia menangis, Riana sendiri tidak ingat. Yang ia tahu, saat ini ia benar-benar merasa takut. Bahkan, sampai berdiri saja ia tidak bisa. Riana mengutuk malam ini yang entah kenapa begitu menyeramkan?!

Grep.

"AAAAA!!!"

Riana menjerit lagi ketika merasakan seseorang menyentuh pundaknya. "PERGI! GUE NGGAK KENAL LO! PERGII!!"

Bukannya menghilang, pegangan tangan itu justru menguat. "PERGIII!!"

"Na! Lo kenapa?!"

Lihat selengkapnya