"Tapi, lo beneran nggak kenapa-napa, kan, Na?"
Di sampingnya, Riana mengangguk dengan wajah yakin. "Gue baik-baik aja, kok, Bang."
"Mau ke rumah Kak Ara?"
Riana menggeleng. "Besok aja sekalian waktu jadwal cek. Takutnya kalau dateng hari ini, nanti malah ganggu Kak Ara."
Farren menghela nafas panjang. Ia sudah mendengar seluruh kejadiannya dari mulut Pandu semalam. Ia benar-benar terkejut ketika mendengarnya. Meskipun Riana tampak baik-baik saja, namun ia ingin menanyakan kondisi Riana secara langsung. Bagaimanapun juga, adiknya itu pasti merasa takut. Apalagi hal yang hampir sama pernah terjadi dulu. Kejadian yang membuat salah satu adiknya pulang kembali pada sang Pencipta. "Gue heran, deh, kok orang aneh itu bisa masuk ke rumah. Padahal, di rumah, kan, ada Pak Mul."
"Soalnya waktu mati listrik, Pak Mul baru keluar. Katanya, sih, habis beli gorengan di angkringan depan perumahan," ucap Riana sembari melepaskan sepatunya. Hari ini benar-benar melelahkan. Terlebih, sikap Gilang yang berubah drastis membuat Riana terus-menerus uring-uringan.
"Pokoknya, habis ini kalau lo dapet pesan aneh lagi, langsung kasih tahu gue! Nggak ada acara sembunyi-sembunyi lagi!" Farren benar-benar tak ingin kehilangan anggota keluarganya lagi. Cukup baginya Bunda dan Raihana pergi. Riana jangan sampai.
Riana mengangkat satu jempolnya. "Iya-iya! Kemarin Kak Pandu juga nyuruh gue juga, kok."
Farren mendengus sembari mengacak rambut Riana. "Sori kalau gue terlalu ngekang lo, Na."
Riana tersenyum lembut. "Ngapain minta maaf segala? Ana justru seneng. Itu tandanya, Ana masih punya Abang," ucap Riana. "Peluk?"
Farren terkekeh seraya memeluk adiknya itu. "Abang sayang banget sama lo, Na."
Riana mengeratkan pelukannya. Dadanya dipenuhi rasa sesak begitu sadar bahwa selama ini Farren selalu mengusahakan yang terbaik untuknya. Walaupun abangnya itu juga punya masalah sendiri, tapi ia selalu memprioritaskan Riana. "Ana juga sayang Abang. Makasih buat semuanya."
Farren melepaskan pelukannya. "Btw, Pandu itu siapanya lo?"
"Kakak kelas di sekolah," balas Riana enteng. Yah, cepat atau lambat Farren pasti akan menanyakan hal ini. Riana sudah menduganya. Lagipula, pasti abangnya ini bertemu dengan Pandu, kan, sewaktu cowok itu menemaninya.
"Cuma kakak kelas doang, nih?" tanya Farren dengan nada usil.
"Lebih, sih. Dia, kan, temen Ana juga. Abang juga pasti udah tahu, kan, kalau dia itu dulunya temennya Hana?"
Farren mengangguk. "Iya, sih. Semalem dia sempet cerita."
Riana mendengus kesal. "Kalau gitu kenapa masih nanya-nanya soal Kak Pandu?"
"Yah, gue curiga aja, sih."
"Curiga? Curiga apa?"
"Curiga kalau lo suka sama dia."
Riana tertawa keras. "Ya kali gue suka sama Kak Pandu! Gue suka sama satu orang aja nggak beres-beres! Masa mau suka sama dua orang langsung? Lo ngelawak, Bang?"
Farreng mengedikkan bahu. "Gue, kan, cuma nanya! Lagian gue nggak mau punya adik yang play girl."
"Idih, gue juga ogah kali! Amit-amit!" ucap Riana sembari memukul-mukul keningnya sendiri.
Farren tertawa melihat tingkah Riana. "Udah-udah! Sekarang, ganti baju, gih. Lo bau, tahu!"
Wajah Riana berubah kesal. "Dikiranya lo sendiri nggak bau?! Dasar nggak tahu diri!"
Riana beranjak menaiki tangga menuju kamarnya. "Buruan mandinya, Na! Habis itu masak, ya! Gue lagi pengen makan masakan lo, nih!"
Riana yang mendengar teriakan tersebut dari kamarnya di lantai dua segera menyahut. "Iya! Tunggu aja!"
Tidak butuh waktu lama, Riana sudah selesai mandi. Setelah menggenakan baju santai yang biasa ia pakai, ia buru-buru mengambil handphonenya yang baru saja berbunyi karena ada notifikasi masuk. Mungkinkah Gilang? Mungkinkah cowok itu meminta maaf karena seharian ini sudah mendiamkannya? Namun, Riana buru-buru menggeleng. Rasanya mustahil Gilang bersikap seperti itu. Bahkan selama ini, bisa dihitung dengan tangan berapa kali Gilang mengiriminya pesan lebih dulu. "Ngarep banget, sih, Na! Pacar aja bukan!"
Rasa antusias dan penuh harap yang sebelumnya meluap-luap langsung hilang entah kemana begitu Riana membaca pesan tersebut. Hampir saja ia menjatuhkan handphonenya jika tidak buru-buru ditahan.
Raut wajah Riana berubah terkejut sekaligus takut.
"Na, lo kok lama—"
Ucapan Farren terhenti begitu melihat Riana berdiri mematung. "Na? Lo ngapain matung gitu?"
Riana mendongak menatap Farren, dan seketika, apa yang tadi dikatakan abangnya berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak.
"Na?" panggil Farren lagi.
Riana mengerjap."E-eh, enggak," ucap Riana sembari merubah ekspresinya secepat yang ia bisa. "Gue nggak ngapa-ngapain, kok."
Farren menaikkan satu alisnya, merasa curiga. Riana yang bisa menebak pikiran Farren buru-buru menyela. "Yang seharusnya nanya itu gue, Bang! Ngapain lo masuk kamar gue? Mana nggak ketuk pintu lagi! Gimana kalau gue lagi ganti baju?!"
Farren langsung terkekeh seperti orang bodoh begitu mendengar amukan Riana. "Hehe, maaf, deh! Lo lama banget, sih! Keburu laper, nih, gue!"
Riana mematikan handphone kemudian menaruhnya di saku celana. "Ya udah ayo turun. Biar gue masakin!"
Farren mengekor dengan senang hati. "Asyik!!"