Malam sebelum kunjungan Jae Wook.
“Pernah berpikir kenapa Song Kang memutuskan untuk menemani Mun Hee?” Ji Hoon memulai pembicaraan tengah malam dengan Jae Wook sembari menonton tayangan ulang pertandingan sepakbola. Jae Wook tidak menjawab karena ia tidak begitu memusingkan keputusan Song Kang tentang tinggal di apartemen Mun Hee. “Padahal, kamu tahu, kehidupan pernikahannya sedang kacau, tetapi ia ingin tinggal bersama dengan Mun Hee? Terdengar tidak masuk akal, kan?”
Kali ini Jae Wook mengangguk.
Ji Hoon melanjutkan, “Jawabannya sederhana. Antara dia merasakan simpati terhadap Mun Hee karena dia sendiri mengidap depresi atau karena dia murni menyayanginya.” Mendengar perkataan Ji Hoon, Jae Wook menoleh ke arah kakaknya. “Maksudku,” lanjut Ji Hoon, “Kamu tahu sendiri, semenjak dulu Song Kang begitu menyayangi Mun Hee. Tidak peduli berapa banyak cewek yang dia pacari semasa sekolah, dia akan selalu kembali pada Mun Hee. Satu-satunya perempuan yang tetap di dalam hidupnya adalah Mun Hee. Dia sudah menetap terlalu lama di hati saudara kita itu tanpa kita sadari, kamu tahu, kan?”
Sekali lagi Jae Wook mengangguk.
“Jadi, sekarang kita harus jujur terhadap satu sama lain. Apakah kamu ada perasaan suka kepada Mun Hee?” Tanya Ji Hoon. Serius. Tidak ada nada becanda yang tertinggal di udara.
Mendengar pertanyaan kakaknya, Jae Wook tersedak bir yang menyembur sedikit ke muka Ji Hoon. “Maafkan aku,” sahutnya sembari mengelap wajah kakaknya dengan tisu. “Aku hanya terkejut. Maksudku,” Jae Wook memutar mata, “siapa, sih, yang tidak suka Mun Hee? Aku tentu menyukainya… kita kan Apgujeong Four… kamu ingat itu kan, kak…?”
Ji Hoon kali ini yang mengangguk. “Tentu saja aku ingat. Dan, kita bertiga pernah bersaing sengit untuk mendapat perhatian Mun Hee. Kita bertiga pernah mengaku jatuh cinta pada Mun Hee dan berusaha memenangkan hatinya dengan melakukan permainan kekanak-kanakkan itu, ya, kan? Tapi hasilnya?”
“Tidak ada yang bisa mengalahkan Song Kang…,” desah Jae Wook. Ia kembali mengingat di masa-masa dimana ia dan kedua saudaranya itu pernah bertaruh untuk mendapatkan hati Mun Hee.
Musim panas 10 tahun lalu.
Song Kang, Ji Hoon, dan Jae Wook muda sedang duduk-duduk santai di serambi toserba nenek setelah membantu mengangkat barang-barang ke gudang. Mereka juga sudah mendapatkan makan siang lezat dari nenek sehingga yang tersisa adalah rasa malas. Saat itulah, ketika mereka sedang asik menyesap permen loli, Mun Hee muncul dari ujung jalan, baru pulang dari mengajar les privat di rumah salah satu bocah SMP. Cahaya matahari siang menjelang sore menerpa wajahnya. Ada bias-bias yang mengenai wajahnya. Entah bagaimana, ketiganya melihat sahabat perempuannya itu nampak begitu cantik. Dan, Jae Wook yang paling terlambat menyadari perasaannya berceletuk, “Aku baru sadar Mun Hee begitu cantik.”
Apa yang dikatakan oleh Jae Wook serempak membuat Ji Hoon dan Song Kang mengalihkan pandangan mereka dari Mun Hee, yang berjalan semakin mendekat, ke arahnya. Keduanya memelototi Jae Wook. Tetapi, bocah itu belum paham juga. Ia hanya masih terus memandangi Mun Hee yang mulai melambaikan tangannya.
“Haaaaii,” sapanya pada ketiga bersaudara.
“Hai, Mun Hee.” Jae Wook langsung berdiri dari posisinya duduk. “Baru pulang?” Ia kemudian berlari kecil menghampiri Mun Hee dan meraih tas ranselnya. “Kami baru saja selesai menata barang di gudang. Apa kamu mau es krim?” Dengan ceria Jae Wook berlari ke dalam toserba. Ji Hoon dan Song Kang memandangi kelakuan Jae Wook sembari geleng-geleng kepala.