“Kak Jae Wook, kamu seharusnya tidak mengikutiku seperti ini.” Mun Hee mendeham ketika Jae Wook yang berbadan tinggi berdiri di sampingnya yang sedang berjaga di meja kasir. Siang ini Mun Hee harus bekerja di toserba karena nenek harus pergi mengunjungi temannya yang sakit di rumah sakit. “Kamu sebenarnya ingin mengatakan apa? Cepat katakan. Jangan mengganggu seperti ini.”
“Kamu tahu… besok adalah hari peringatan kematian ibu kak Ji Hoon. Apakah kamu mau memasak untuk kami?” Tanya Jae Wook yang menyerah setelah seharian menguntit dan mengikuti Mun Hee kemana pun. “Kami berdua akan sibuk besok dan tidak akan ada yang memasak di rumah. Apartemen kami selalu terbuka untukmu.”
“Paman dan bibi?” Tanya Mun Hee. “Bukankah mereka biasanya juga datang. Bibi biasanya memasak, kan?” Mun Hee mengingat wajah ibu Jae Wook yang selalu ramah dan memeluknya dengan hangat. “Apa mereka berdua tidak datang?”
“Itulah,” Jae Wook mendesah, “ayah dan ibuku sedang berada di luar kota mengurusi kantor cabang yang baru saja dibuka. Mereka tidak akan berada di sini. Dan, aku tidak ingin kami melewatkan hari peringatan kematian bibi.”
Mun Hee sadar bahwa besok adalah hari yang penting bagi kak Ji Hoon. Dia adalah kakak beda ibu dari Jae Wook dan juga sepupu tertua dari Song Kang dari sisi maternal. Mereka berempat sudah saling mengenal semenjak Mun Hee berteman dengan Song Kang semasa SMA. Hanya setelah Song Kang menjadi artis, hanya mereka bertigalah yang masih rutin sering bertemu. Kak Ji Hoon sekarang adalah dokter magang di salah satu rumah sakit Universitas di Seoul dan kak Jae Wook adalah instruktur senam di Apgujeong gym. Cita-citanya sebenarnya menjadi atlit nasional tetapi karena cedera semasa kuliah ia tidak bisa memenuhi persyaratannya dan menjadi instruktur senam selama ini. Ia dan Mun Hee selalu merasa bahwa mereka pengangguran dan sering minum-minum berdua sambil menertawakan hidup. Bagi Mun Hee, Jae Wook adalah pengganti Song Kang yang selalu menemaninya selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini. Maka, ia pun tidak bisa menolak permintaannya. Mun Hee menyetujui untuk memasak besok di hari perayaan kematian ibu Ji Hoon.
“Kamu tahu sandi pintu apartemen kami, kan?” Tanya Jae Wook sembari membuka pintu toserba mengakibatkan lonceng di atasnya berbunyi ‘klang’. Mun Hee mengangguk. “Baguslah. Aku pergi dulu. Sampai jumpa besok!” Jae Wook melambaikan tangannya dan berjalan ke jalanan musim panas Apgujeong, menghilang dari pandangan Mun Hee, yang hanya bisa mendengar suara deru mesin pendingin di sudut ruangan.
****
Malam itu Mun Hee izin pada neneknya tidak menjaga toserba karena harus pergi ke apartemen Ji Hoon dan Jae Wook untuk melakukan upacara peringatan kematian ibu Ji Hoon. Nenek mengenal Ji Hoon dan Jae Wook sehingga mudah baginya mengizinkan Mun Hee untuk pergi. Ia bahkan mengizinkan Mun Hee untuk menginap di apartemen mereka jika sudah terlalu larut, jika ingin. Diam-diam nenek tahu bahwa cucunya perlu sedikit lebih bergaul dengan teman-temannya yang sekarang sudah jarang ia temui. Sebenarnya dia sangat senang dengan temannya yang bernama Song Kang yang berakhir menjadi artis terkenal. Sayangnya, bocah lelaki itu sudah menikah tiga tahun lalu dan bahkan kabarnya akan bercerai tahun ini. Nenek menyayangkan mengapa dia tidak berakhir dengan Mun Hee saja. Dia adalah lelaki yang baik.
“Sampaikan salamku pada Ji Hoon dan Jae Wook ya,” Nenek melambaikan tangan di depan toserba, memperhatikan Mun Hee yang berjalan tertatih-tatih karena nenek sudah memasukkan kimchi, buah-buahan, sayur-mayur, daging sapi, dan beberapa botol makgeoli ke dalam dua kantong plastik besar yang dibawa cucunya itu dengan susah payah.
Mun Hee yang harus membawa semua bahan masakan dari neneknya merasa kedua tangannya sangat pegal. Ia tidak enak jika harus menolak kebaikan hati neneknya. Apalagi nenek memang mengenal dan menyayangi Ji Hoon dan Jae Wook serta menganggap mereka seperti cucunya sendiri. Hasilnya adalah dia harus berjalan sepanjang jalan dengan beban yang tidak enteng di kedua tangannya.
“Perlu bantuan?” Tiba-tiba ada seseorang berjalan di sisinya. Mun Hee yang terkejut berhenti berjalan sebelum mendongak dan mendapati seorang pria tinggi dengan separuh wajah tertutupi masker memandangnya balik. “Sepertinya kamu keberatan membawa kedua kantong plastik besar. Kamu pasti akan ke tempat kak Ji Hoon, kan?” Tanya si pria sembari meraih kedua kantong plastik dari genggamannya. Mun Hee merasakan kedua tangannya mendadak menjadi ringan dan masih menatap pria di depannya tanpa berkedip. Sepertinya, dia tahu siapa pria di depannya ini. Ia mengenali suara itu. Seluruh Korea pun pasti mengenali si pemilik suara itu.
“Song Kang?” Mun Hee memekik.
“Ssst… jangan keras-keras.” Song Kang menurunkan maskernya sedetik dan Mun Hee langsung tahu bahwa tebakannya benar ketika ia melihat wajah yang sangat ia kenal itu. “Nanti orang-orang mengenaliku. Aku sedang dalam pelarian, kamu tahu.” Ujarnya. “Yuk, ke tempat kak Ji Hoon.” Tanpa menunggu persetujuan Mun Hee, Song Kang sudah berjalan mendahuluinya, membawa kedua kantong plastik besar. Masih terheran-heran, Mun Hee tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti si pria yang sudah berjalan jauh di depan.
Mun Hee bertanya dalam hati, hari apa ini, apa yang sebenarnya sedang terjadi, apakah pria itu benar-benar Song Kang? Kenapa dia nampak baik-baik saja? Seolah-olah sepuluh tahun yang ia lalui tanpa menghubungi Mun Hee adalah tahun-tahun yang biasa saja? Mun Hee tidak habis pikir.
****