Salah satu hal yang paling sering diperdebatkan dari dulu sampai sekarang dan sepertinya enggak akan pernah berhenti didiskusikan di masa depan adalah pertanyaan: apakah laki-laki dan perempuan bisa berteman? Sebagian akan menjawab enggak bisa (pakai tanda seru banyak-banyak) dan sebagian lagi sisanya pasti menjawab bisa (dengan kalem), diikuti alasan-alasan pendukung yang lebih meyakinkan. Mereka yang menjawab enggak bisa beralasan bahwa laki-laki dan perempuan itu beda jenis kelamin dan diciptakan untuk menjadi pasangan, bukan teman. Kalaupun ada yang katanya memang “berteman”, pasti salah satunya memendam perasaan cinta terus takut buat mengungkapkan karena enggak mau pertemanan mereka rusak. Untuk orang-orang yang mengatakan bisa, mereka yakin bahwa pertemanan itu enggak akan berubah menjadi hubungan asmara selama keduanya enggak memiliki perasaan spesial. Intinya, masalah bisa berteman atau enggak antara laki-laki dan perempuan itu kembali lagi pada pribadi masing-masing.
Bagiku sendiri, aku berani mengatakan bahwa aku benar-benar bisa berteman dengan laki-laki tanpa melibatkan perasaan secuil pun. Iya, benar-benar murni cuma teman. Aku enggak bakalan menganggapnya lebih dari teman, enggak peduli ternyata dia memang menyukaiku secara diam-diam atau terang-terangan. Jika aku mengetahui teman lelakiku menyukaiku, di saat itu jugalah kami berhenti menjadi teman karena aku pasti ingin segera menjauhinya. Kesucian pertemanan kami telah ternoda (lebai!).
Enggak, bukan salah dia karena punya perasaan khusus terhadapku. Mau bagaimana lagi, aku enggak mungkin dapat mengendalikan perasaan orang lain.
Sampai akhirnya aku bertemu Rama, yang selanjutnya sungguhan menjadi teman laki-laki pertamaku yang abadi dan mematahkan fakta bahwa selama ini enggak ada satu pun laki-laki yang mau hanya berstatus menjadi temanku.
***
Ada masa-masa di mana akulah yang menghancurkan persahabatanku dengan seorang teman laki-laki. Dia adalah teman sepermainan sewaktu di taman kanak-kanak dulu. Meskipun kami enggak sekelas, entah bagaimana caranya dia menghampiriku ketika sedang bermain perosotan di lapangan dan mengajakku bermain bersamanya. Dari situlah kami sering bermain wahana bareng pada waktu istirahat.
Namanya Ferry. Rambutnya keriting, senyumnya selalu lebar, hidungnya kecil dan sedikit mancung. Tanpa disadari karena kami sering menghabiskan waktu bersama, akulah yang menanam benih-benih perasaan suka itu di dalam hatiku lalu tumbuh dengan suburnya tanpa dapat dicegah.
Apalagi, setelah kami lulus dari taman kanak-kanak, kami berdua memasuki sekolah dasar yang sama dan satu kelas! Sebuah keberuntungan yang berakhir sia-sia untukku. Di situlah aku menyaksikan Ferry menyukai teman sekelas kami yang lain bernama Yuri. Kalau bicara soal wajah, aku sih enggak kalah cantik dari Yuri. Namun, jika bicara tentang kepintaran, Yuri jauh lebih pintar dariku. Dia merupakan juara di kelas kami dan meraih posisi peringkat kedua sementara Ferry seingatku entah berada di peringkat empat atau lima. Lalu datanglah aku yang berada di peringkat kedelapan. Sebenarnya peringkat sepuluh besar di kelas itu enggak buruk kok. Malah kami mendapat predikat sebagai orang-orang unggulan di kelas. Yang menjadi masalah adalah jauhnya jarak antara peringkat dua dengan peringkat delapan, dan itu cukup membuat Ferri terkagum-kagum oleh sosok Yuri layaknya seseorang yang habis terkena pelet dukun.
Ferry mulai mengikuti Yuri ke mana-mana (kecuali ke toilet tentu saja). Dia mendadak melupakanku. Di matanya kini aku berubah menjadi sosok transparan. Di saat jam istirahat, dia bakal cepat-cepat menghampiri meja di mana Yuri duduk dan mengajaknya mengobrol panjang lebar. Aku cuma bisa menatap mereka berdua yang sibuk mengobrol dari jauh.
Pernah suatu hari aku berusaha bergabung ke dalam lingkaran itu agar dapat mengobrol dengan Ferry tapi dia sukses besar mengabaikanku! Bahkan Yuri sendiri kelihatan enggak tertarik membawaku ke dalam obrolan mereka. Otomatis aku kembali berjalan menuju tempat dudukku dengan bahu merosot. Nelangsa banget pokoknya deh!
Pernah juga ketika dering bel istirahat terdengar, aku segera menghampiri meja Ferry tapi dia pura-pura enggak tahu dan berjalan secara alami menuju meja Yuri. Kejam! Sangat kejam! Aku enggak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan perhatian Ferry. Aku cuma bisa syok duduk di bangkuku sambil menatap mereka berdua mengobrol. Yuri duduk dan Ferry berdiri di sampingnya. Matanya berbinar-binar ketika memandang wajah Yuri dan di sepanjang obrolan itu Ferry selalu menampilkan senyum lebarnya. Dulu, hanya aku yang sering bermain bersamanya. Dulu, kami saling berbagi canda dan tawa. Dulu, kami bermain perosotan, jungkat-jungkit, dan ayunan bersama. Dulu ... ya, kini hanya ada kata dulu.
Jika direka ulang peristiwanya, bakalan begini kira-kira: