Forever Just Friends

Amanda Chrysilla
Chapter #3

Bab 2

Aku bertemu Rama di kelas pengantar ekonomi mikro. Rambutnya keriting, kulitnya gelap, badannya tinggi dan kurus. Kesan yang paling enggak bisa aku lupakan dari Rama adalah ketika dia tersenyum, tampaklah sederet behel berwarna hijau muda menghiasi gigi atas dan bawahnya. Di daerah asalku, aku enggak pernah menemukan laki-laki yang memakai behel. Mungkin karena saat ini aku sudah berkuliah di ibu kota provinsi, perbedaan kulturnya jadi lebih signifikan. Aku melihat bahwa laki-laki yang memakai behel merupakan hal lumrah terjadi di kota besar.

Sedangkan di daerah asalku, laki-laki yang memakai behel itu malah dikatain bencong. Padahal behel mempunyai kelebihan untuk merapikan gigi siapa saja tanpa memandang gender. Makanya bagiku sendiri, penampilan Rama cukup mencolok. Kebetulan di kelas kami hanya dia seorang yang memakai behel. Aku mulai memperhatikan gerak-gerik dirinya sejak itu.

Di hari pertama kami sekelas, Rama dipilih menjadi ketua kelas oleh Bu Mita, Dosen Pengantar Ekonomi Mikro. Tugasnya sebagai ketua kelas nanti memastikan sebelum kami semua masuk, dia telah mengambil map berisikan beberapa lembar kertas absen di ruang dosen. Jika materi kuliah hari itu membutuhkan proyektor, maka dia juga harus membawa perangkat proyektor dari ruang dosen. Di tempat kami berkuliah, proyektor enggak diletakkan secara bebas di setiap kelas demi menghindari pencurian.

Jika nanti Bu Mita berhalangan hadir, atau ingin mengganti jadwal ke hari lain, dia hanya akan menghubungi Rama seorang untuk mengabarkan hal tersebut yang kemudian harus Rama sebarkan kepada teman-teman sekelasnya. Di pertemuan pertama, aku enggak banyak berinteraksi dengan Rama. Aku cuma melirik dia sesekali yang duduknya kebetulan enggak jauh dariku. Menoleh ke kanan sedikit saja, aku pasti langsung melihat wajahnya yang sedang fokus mendengarkan penjelasan Bu Mita di depan kelas.

“Jadi, nanti kalau ada tugas yang ingin saya berikan dan saya enggak bisa masuk hari itu, saya bakal sampaikan ke Rama. Nanti Rama yang ngasih tau kalian di kampus langsung atau via chat ya,” ucap Bu Mita yang telah selesai menjelaskan materi dan duduk di kursinya.

“Iya, Bu!” balas kami serempak.

“Dua minggu lagi saya ada jadwal seminar ke luar kota, kalau beneran jadi pergi, kita pindahin jadwal kuliahnya jadi dua kali pertemuan di minggu setelahnya, nanti diatur waktunya biar cocok. Kalian enggak keberatan, ‘kan? Yah, namanya jadwal dosen kadang suka bentrok, ada aja yang harus diurus dan diikutin.”

“Ya, Bu!” Hallo, we are Yes Man!

Betapa pentingnya posisi Rama di kelas Pengantar Ekonomi Mikro kami. Aku dan Rama akhirnya bertukar nomor agar dia lebih mudah menghubungiku untuk urusan mata kuliah Bu Mita. Akulah yang berinisiatif meminta nomor Rama ketika perkuliahan selesai.

“Rama, minta nomor dong,” cegahku ketika Rama berjalan keluar kelas.

“Oh, iya, aku lupa minta nomor kalian semua!” Rama menepuk pelan dahinya. “Minggu depan deh aku lanjut minta nomornya. Soalnya tadi pas kita lagi ngerjain tugas, aku udah minta nomor beberapa teman kelas kita yang duduk di sekitar aku. Siapa nama kamu? Sini biar aku aja yang save nomor kamu duluan,” tanya Rama sambil mengeluarkan ponselnya yang berwarna hitam dari saku celana.

“Amanda.”

“Oke, Amanda. Udah aku save ya.”

“Sip. Thank you, Rama.”

“Aku duluan ya, Manda,” tutupnya lalu melambaikan tangan kepadaku dan segera pergi melangkahkan kaki ke tempat parkir sepeda motor yang letaknya tepat di seberang kelas kami.

Kamu? Dia panggil kamu? Di daerah asalku, panggilan ‘kamu’ jarang digunakan. Bagi sesama teman, kata sapa yang wajar dipakai adalah ‘aku’ dan ‘kau’. Sementara panggilan ‘kamu’ itu seringnya khusus untuk pacar (cieileee). Aku sendiri enggak tahu Rama berasal dari daerah mana sampai dengan entengnya memakai kata ‘kamu’ ke teman perempuan. Kalau dia bertemu dengan teman perempuan satu daerahku, teman aku itu pasti bakal salah paham menganggap dirinya spesial. Padahal kenyataannya kita memiliki perbedaan budaya. Bahkan yang paling ekstremnya, pernah ada seorang teman perempuan yang disenyumin oleh abang kelas kami dan dia langsung ge-er berat mengira kalau abang itu suka sama dia! Aku enggak paham, tingkat halusinasinya sudah sejauh jarak antara Mars ke Pluto. Lain kali kalau aku dikasih kesempatan bertemu dengan teman sejenis itu, aku bakal menyadarkan dia dengan cara menyiram air putih ke wajahnya sambil membaca Al-Fatihah. Semoga dia segera tersadar. Amin.

Lihat selengkapnya