“Eh, ngapain kalian masih di luar? Bu Mita belum datang, ya?” Aku melongokkan kepala ke dalam kelas dan melihat beberapa teman berpencar duduk di mana-mana membentuk tiga-empat kelompok. Satu kelompok itu terdiri dari dua hingga lima orang. “Oh, belum datang ternyata.”
Aku memutuskan ikut bergabung bersama Rama dan yang lainnya berdiri berkelompok di teras kelas. Enggak berminat juga meletakkan tas di kursi sebelum pelajaran dimulai, aku enggak ingin menghadapi risiko ada barang-barangku yang hilang. Aku cukup memercayai teman-teman sekelasku tapi enggak mau menghilangkan kewaspadaan yang kumiliki sejak kecil. Aku selalu berhati-hati melindungi setiap barangku. Mengingat aku bukanlah dari keluarga yang berlebih dalam harta, kehilangan barang sama dengan membeli barang baru untuk mengganti yang telah hilang tersebut. Tentu saja, perjuangan membelinya harus menguras isi tabunganku sendiri yang enggak seberapa itu.
“Bu Mita katanya datang telat hari ini,” kata Rama. Ada tiga orang lain yang berdiri bersama kami di situ, satu orang cewek dan dua orang cowok, aku belum mengenal mereka bertiga.
“Berapa lama telatnya?” tanyaku.
“Dia bilang 15 menit sampai setengah jam.”
“Kenapa telat?”
“Enggak tau, katanya ada urusan penting yang harus diselesain,” jawab Rama sambil mengedikkan bahu. Setiap kali berbicara dengan Rama, aku selalu salah fokus memandangi behel hijaunya. Kenapa? Kenapa dia memilih warna hijau cerah yang mencolok itu??? Masih banyak warna lain yang kurang mencolok kayak hitam, biru tua, dan abu-abu tua.
“Oh, gitu. Lumayan lama juga ya telatnya,” gumamku.
“Iya, emang lumayan lama,” ujar Rama setuju.
“Bu Mita minta kita semua megang buku cetak. Kamu udah beli, Ram?” tanya cewek itu. FYI, aku berdiri bersisian dengan si cewek itu dan Rama berdiri di hadapan kami, sementara dua cowok lainnya berdiri sejajar dengan cewek itu seperti pelengkap atau penguping, tampaknya sedari tadi pun cowok-cowok itu enggak terlibat dalam percakapan dan hanya sibuk memandangi layar ponsel mereka, mungkin mereka sedang bermain online game bareng alias mabar.
“Belum. Nantilah aku beli. Rencananya lusa aku mau pergi ke toko buku di Kulim buat beli bukunya. Di sana buku kuliah murah-murah, Mai,” jawab Rama. Berarti nama cewek itu adalah Mai.
“Kalo aku rencananya minjam buku ke kakak tingkat kita aja, biar hemat,” balas Mai.
Nah, kebetulan banget setelah itu ada seorang kakak tingkat cowok yang berjalan lewat di depan kami. “Bang,” tegur Mai enggak pakai malu-malu kucing, kayaknya dia tipe yang berani mendekati cowok duluan. Bahkan mungkin nih, menurutku, tipe yang agak agresif. Lihat saja sendiri bagaimana cara dia menegur kakak tingkat itu!
Menurutku, enggak ada yang salah jika seorang cewek itu agresif selama dia enggak memaksakan kehendaknya terhadap si cowok. Tambahan catatan: selama si cewek dan si cowok sama-sama berstatus single, why not? Kalau suami atau istri orang ya ... janganlah! Aku bukan penganut paham bahwa perempuan itu harus pasif dan menunggu laki-laki untuk mendekatinya lebih dulu. Jika sebagai perempuan ingin menjadi yang pertama mendekati laki-laki, silakan saja. Itu bukan hal yang salah kok, malah wajar. Terkadang, di kasus berbeda, laki-laki itu kurang peka dan butuh dikasih kode yang terang-benderang supaya berani mendekati kita. Sama kayak pemikiran aku yang perempuan ini, mereka pun takut ditolak sang pujaan hati.
Apalagi jika laki-laki yang ingin didekati itu adalah laki-laki high class, gas sebelum diambil perempuan lain. Enggak perlu berebut, cukup memulai lebih dulu daripada perempuan lain. Pesan untuk semua perempuan, jangan mau dijadikan pilihan, harus jadi tujuan dia satu-satunya. Bagus, ‘kan, kata-kata bijak dari aku yang enggak berpengalaman ini? Padahal sendirinya belum pernah berani mendekati cowok duluan (ketawa pahit).
“Ya, kenapa?” Duh, mana abangnya ramah banget pula! Sepertinya dia senang ditegur cewek cantik dan manis kayak Mai (cowok mana sih yang enggak demen ditegur sama cewek cantik?). Kesempatan banget buat si abang tingkat.
“Abang punya buku pengantar ekonomi mikro?” tanya Mai lancar jaya.
“Enggak punya, dulu Abang pinjam punya orang lain juga pas belajar itu,” jawab abang itu seraya mengulas senyum manis. Eh, kebetulan, dilihat-lihat secara saksama, abang-abangnya ganteng pula! Dasar si Mai matanya jeli!
Sebentar, kalau dipikir-pikir lagi, semenjak aku menginjakkan kaki di fakultas ekonomi universitas kami dan mengikuti proses pendaftaran ulang di sini, bukankah fakultas kami memang diberkahi cowok-cowok tampan yang lumayan melimpah? Aku teringat ketika ayahku membelokkan mobilnya masuk ke gerbang fakultas ekonomi dan tampaklah cowok-cowok tampan sedang duduk berjejer rapi di pinggir lantai teras kelas, mereka menikmati obrolan-obrolan yang dilakukan di antara mereka sebelum masuk ke kelas. Enggak, ini enggak terjadi di fakultas lain, kecuali fakultas kedokteran tentu saja.
“Kirain Abang punya. Makasih ya, Bang,” ucap Mai lembut s-e-k-a-l-i.
“Ya, sama-sama. Abang balik dulu, ya.” Abang itu melirik sekilas ke arahku sebelum pergi dari hadapan kami. Betul! Begini-begini wajahku cakep tahu! Pasti dia mau memastikan soal itu. Bukan, ini bukan pendapat pribadiku tapi merupakan hasil survei dari teman-teman semasa sekolah. Semoga pujian mereka benar ya.
Tet-tot! Wrong! Hah, aku ingin mengeluh. Abang itu adalah abang kelasku di SMP, yang juga merupakan saudara sepupu seorang teman sekelasku, Meilani. Namanya Bang Willy. Dia melirikku untuk memastikan apakah dia mengenalku atau enggak, makanya tadi dia sempat tersenyum kepadaku sebelum pamit pulang. Aku pun membalas senyum itu dengan canggung.
Dunia ini memang sempit ya. Apalagi aku berkuliah enggak jauh dari daerah asalku yang cuma berjarak satu setengah jam. Di ibu kota provinsi Riau ini, Pekanbaru, aku menyewa kamar kos bulanan. Karena jarak yang dekat, setiap minggu atau dua minggu sekali aku pulang mengunjungi rumah orang tuaku. Apakah aku bisa disebut sebagai setengah perantau? Entahlah, enggak penting.
“Si Mai main langsung tanya aja sama abang tingkat,” sela Rama, nada suaranya terdengar takjub.
“Kebetulan abangnya lewat depan kita, ya sekalian aku tanya. Mana tau tadi dia beneran bisa minjemin bukunya buat aku,” jelas Mai.
Di sisa waktu menjelang Bu Mita datang, aku lebih banyak mendengarkan obrolan di antara Mai dan Rama. Mai dominan menguasai obrolan itu. Rama seringnya menanggapi sekadarnya. Malah kelihatannya Rama mulai bosan meladeni setiap omongan Mai. Ternyata, cewek secantik Mai (dan aku uhuk) enggak memiliki pengaruh apa-apa di mata Rama. Bahkan dengan santainya dia menguap berkali-kali di depan kami kayak enggak berniat menutupi kebosanannya menunggu Bu Mita datang. Bertambah satu lagi poin plus Rama untuk dijadikan teman lawan jenis yang tepat untukku di masa depan. Rama adalah teman cowok paling potensial pertamaku.
Can’t wait for the future coming to us!
***