Forever Just Friends

Amanda Chrysilla
Chapter #6

Bab 5

Tuntas sudah 16 kali pertemuan mata kuliah Pengantar Ekonomi Mikro bersama Bu Mita. Enggak ada interaksi berarti di antara aku dan Rama di sisa 12 kali pertemuan, kecuali kami saling menyapa dan melempar senyum saja setiap kali berpapasan di dalam kelas. Namun, semenjak kami saling bertukar cerita tentang diri kami masing-masing, aku merasa telah menjadi lebih akrab dengan Rama daripada sebelumnya (enggak tahu bagaimana pendapat Rama sendiri tentangku, aku enggak begitu peduli, sih).

Setelah diamati, memang Rama itu tipe yang mudah akrab dengan teman perempuan karena sikapnya yang santai, bukan ramah berlebihan hingga menimbulkan salah paham dan bukan berarti dia melambai. Tahu sendiri bagaimana cowok-cowok melambai lebih sering gampang akrab dengan para cewek. Nah, Rama itu sama sekali enggak aneh-aneh, dia cowok tulen dan bertingkah layaknya cowok normal pada umumnya.

Justru yang unik itu adalah Bu Mita. Aku enggak akan mungkin melupakan sikap gelisahnya setiap kali waktu mengajarnya mulai mendekati jam pulang.

“Eh, saya lihat orang-orang udah banyak yang pulang,” ujarnya sehabis melongokkan kepala ke luar pintu kelas. “Kita pulang aja ya kayak mereka. Jangan mau jadi yang terakhir pulang pas semua kelas udah pada kosong. Serem. Kita ini pulangnya dekat waktu magrib, loh. Biar kalian pulangnya enggak kemalaman juga.”

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Sebenarnya masih ada waktu sekitar lebih kurang sepuluh menit lagi sebelum pukul 18.00, di mana itu adalah waktu pulang kami berdasarkan jadwal yang diberikan oleh pihak adminitrasi kampus. Namun, melihat dari ekspresi wajah teman sekelasku yang berubah cerah saat Bu Mita menyebut kata ‘pulang’, memang lebih baik kami pulang sekarang juga. Jiwa-jiwa mereka tampaknya sudah terbang entah ke mana.

“Enggak masalah, ‘kan, sama kalian kalau kita pulang aja sekarang?” tanya Bu Mita karena belum ada seorang pun dari kami yang menanggapi ucapannya tadi.

“Iya, Bu. Enggak masalah,” jawab Mai. Ternyata, Mai ini orangnya memang terus terang banget! Baguslah, jawaban dia telah mewakili isi hati kami semua.

“Oke, kalo gitu, kita pulang ya. Sisanya bisa kalian pelajari di rumah. Enggak sulit kok. Yuk, yuk, pulang!”

Bu Mita tampak bersemangat pulang mengalahkan kami, para mahasiswa di kelasnya. Dia bergegas melangkah ke luar kelas sambil melambaikan tangan ke arah kami. “Saya duluan ya, Semuanya!” pamit Bu Mita.

“Iya, Bu. Hati-hati, ya,” balas sebagian dari kami, termasuk aku.

“Baru kali ini ketemu dosen, liat kelas lain pulang, dia mau pulang juga,” komentar seseorang di belakangku.

“He-eh. Bisa gitu, ya. Kalo mau pulang, pulang aja sih. Enggak perlu pakai kambing hitam segala,” balas temannya.

Aku menoleh ke belakang dan melihat dua orang itu beranjak dari kursi mereka dan mulai melangkahkan kaki menuju pintu kelas. Aku setuju dengan mereka. Cuma Bu Mita satu-satunya. Dia spesial. Berbeda. Seperti seseorang yang menerobos aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat kita. Adore her. Apalagi aku memperoleh nilai A di kelasnya (oh, jadi karena itu kamu memujinya, Manda?).

Kabar baik berikutnya, kami juga selesai memakai baju seragam yang merupakan simbol mahasiswa baru di Fakultas Ekonomi Universitas Riau, yaitu setelan pakaian berwarna hitam dan putih. Kami diwajibkan memakai baju kemeja putih dan celana kain berwarna hitam di sepanjang semester satu, terserah model bajunya seperti apa yang penting polos, no motive motive club. Bercorak sedikit saja, pasti kena tegur Dosen dan disuruh meninggalkan kelas. Rules are rules.

Bagian mengesalkannya adalah hanya fakultas kami yang menerapkan peraturan seperti itu. Makanya, ketika kami bertemu mahasiswa-mahasiswa baru dari fakultas lain, mereka sering melontarkan pertanyaan, “Magang di mana kalian?” atau, “Jadi sales di perusahaan apa?”

Kami menjadi bahan ejekan di fakultas lain. Aku sendiri enggak menyimpan stok kemeja putih dan celana kain hitam banyak-banyak. Seperlunya saja. Yang penting kudu rajin dicuci biar ketiaknya enggak bau asam. Jangan lupa, wajib ditambahkan sebanyak-banyaknya parfum di area sekitar ketiak. Itu tips berguna dariku yang anti bau ketiak. Kasihan orang-orang kalau enggak sengaja sedikit saja menghirup bau ketiakku, aku enggak mau! Jangan sampai, deh! Nanti rontok bulu hidung mereka.

Menurutku, tradisi baju hitam putih untuk mahasiswa baru itu sebaiknya dihilangkan. Karena, jujur pakai banget nih, enggak ada gunanya, enggak punya efek bermanfaat apa pun selain kami bosan memakainya selama satu semester penuh! Mengalahkan fakultas teknik yang lebih disiplin sistem mendidiknya terhadap para mahasiswa mereka.

Forget it. Sudah berlalu kok.

Berarti, di semester dua nanti kami bisa berpakaian bebas. Mau mengenakan pakaian model apa? Vintage, harajuku, klasik, atau Islami? Nah, aku bakalen tetap berpakaian biasa saja. Toh model baju atasannya masih dibatasi peraturan kampus, yaitu wajib berkerah. Asalkan enggak lagi berpakaian hitam putih, I’ll be fine.

***


I really hate this one story.

Di kelas 2 SMP, aku sekelas dengan dua orang teman laki-laki bernama Byan dan Rivan. Yang kemudian, suatu hari, ada seorang teman sekelas laki-laki lainnya menyampaikan kepadaku bahwa kedua orang itu naksir aku. Pada saat mendengar berita itu, aku hanya mengerutkan keningku dalam-dalam. Byan dan Rivan, kedua anak itu duduk semeja di belakangku. Lagi-lagi, déjà vu, skenario serupa yang pernah terjadi sebelumnya di kelas 3 SD.

Lihat selengkapnya