Jadwal Hari Kamis, Jumat, dan Sabtu yang tersisa diisi masing-masing satu mata kuliah. Tersisa mata kuliah Pengantar Akuntansi di Hari Kamis, Pendidikan Kewarganegaraan di Hari Jumat, dan Pengantar Hukum Bisnis di Hari Sabtu. Aku menantikan hari esok tiba demi mengetahui apakah aku sekelas lagi dengan Rama di ketiga mata kuliah tersebut. Aku mendengar bahwa universitasku saat ini sudah meliburkan Hari Sabtu. Padahal dulu di zaman aku masih berkuliah di sana, sampai malam pun masih ada yang masuk belajar di kampus.
“Sekarang aku udah enggak kaget lagi ngeliat Manda.” Rama tertawa saat berjalan memasuki kelas dan langsung menyapaku ketika dia melewati bangkuku.
“Sama, aku juga udah enggak kaget. Malah mikirnya kita pasti sekelas lagi,” komentarku ceria.
“Kita liat aja besok, ya. Jangan dikasih tau dulu mata kuliah atau dosennya.”
“Oke. Enggak seru kan, kalo dikasih tau duluan. Mending kayak gini jadi kayak main tebak-tebakan.”
Esoknya, di kelas Pendidikan Kewarganegaraan, giliran Rama melihatku berjalan memasuki kelas.
“Udah kuduga,” ucapku seraya tertawa kecil.
“Tinggal satu mata kuliah lagi besok,” sambung Rama.
Dan pas mata kuliah terakhir di minggu itu, Pengantar Hukum Bisnis, aku dan Rama sama-sama mendapati fakta bahwa kami enggak sekelas. Itu saja menurutku sudah termasuk keajaiban, sekelas dalam delapan mata kuliah dari sembilan mata kuliah! Sistem pengisian KRS di kampus kami dilakukan oleh mahasiswa. Kamilah yang memilih sendiri secara sadar ingin masuk ke kelas mana dan dosennya siapa. Pilihan kelas dari setiap mata kuliah itu dimulai dari kelas A sampai kelas L. Rata-rata tersedia 12 kelas untuk tiap mata kuliah. Jumlah satu angkatan jurusan kami di tahun itu berkisar hampir 500 orang, angka yang fantastis hanya untuk satu jurusan atau program studi di sebuah fakultas. Bayangkan juga bagaimana persaingan kerjanya, pasti luar biasa kompetitif.
Di semester dua inilah, hubunganku dan Rama menjadi makin akrab sebagai teman secara alami. Karena, hanya dia satu-satunya teman laki-laki yang sampai sebanyak itu sekelas denganku.
***
Dia tiba-tiba menghubungiku di media sosial dan menanyakan nomor teleponku. Aku memberikan nomor teleponku kepadanya dan dia langsung saja menghubungiku melalui WhatsApp. Di sanalah obrolan kami terus berlanjut. Mulai dari chat lalu berubah menjadi telepon. Kami saling mendengar suara masing-masing yang sudah lama enggak terdengar. Bahkan, dia sampai berani mengajakku video call tapi aku langsung menolaknya mentah-mentah. Aku sendiri bukan orang yang nyaman melakukan video call dengan siapa pun, termasuk dengan kedua orang tuaku dan adik-adikku. Apalagi ini, cuma seorang teman sekolah yang bukan siapa-siapa.