Aku dan Rama kompak menyatakan bahwa kamilah satu-satunya dua orang yang sekelas hingga delapan mata kuliah. Dia enggak melihat teman lain yang sekelas dengannya sampai sebanyak itu, begitu pula denganku. Karenanya, akulah yang pertama kali berinisiatif memanggil Rama memasuki kelas dan menyuruhnya duduk di sampingku.
“Rama, sini!” Aku melambaikan tangan kananku sementara tangan kiriku menunjuk kursi kosong tepat di sebelahku, secara terang-terangan aku meminta Rama duduk di situ.
Kemudian Rama berjalan menuju ke arahku dan duduk di kursi kosong itu. Aku tersenyum kepadanya dan dia balas tersenyum sambil berkata, “Makasih, Man.” Dia enggak bertanya mengapa aku memintanya duduk di sampingku. Kepribadiannya yang santai itulah yang menahan dirinya mempertanyakan hal-hal kurang penting. Bagi Rama, sudah dapat duduk di kursi, dia enggak peduli lagi sama siapa saja yang duduk di sekelilingnya. Enggak jarang, kelas yang kumasuki pernah mengalami kekurangan kursi. Jadi, siapa yang terlambat datang, terpaksa pergi mencari kursi sisa di kelas lain, akibat saking banyaknya mahasiswa di jurusan kami. Seorang dosen kami yang menyampaikan sendiri, dia berkeluh kesah, “Tahun ini fakultas kita terlalu banyak menerima mahasiswa. Kita kekurangan ruang kelas, kekurangan kursi, makanya kalian terpaksa sampai ada yang masuk kuliah malam. Padahal itu seharusnya khusus untuk kelas karyawan. Tahun ini kacau sekali.”
Akhirnya, hal itu menjadi sebuah kebiasaan untukku. Memanggil Rama ketika dirinya memasuki kelas dan menyuruhnya duduk di sampingku. Terkadang, Rama juga melakukannya sama persis untukku. Dia telah menyediakan kursi kosong di sebelahnya ketika dirinya datang lebih dulu daripada diriku. Aku pun menduduki kursi itu dengan senang hati.
“Manda pasti ngisi KRS-nya di hari-hari menjelang deadline.”
“Bukan aku sengaja ngisi paling belakang. Situs pengisian KRS-nya error terus tiap aku buka di hari pertama sampai hari keempat.”
“Sama, kita berdua korban situs KRS yang error. Jadinya dapat kelas-kelas sisa dengan dosen-dosen pelit nilai, kecuali Bu Mita.”
“Itulah kenapa kita berdua banyak sekelas. Cuman, beneran, kita berdua terlalu banyak satu kelas dibandingkan sama teman-teman yang lain. Kesannya kita berdua sengaja banget ngisi di hari-hari menjelang deadline supaya bisa sekelas di delapan mata kuliah.”
“Padahal enggak ‘kan, Man? Nasib kita aja yang jelek. Orang udah banyak selesai ngisi KRS, kita belum. Nama dan NIM (Nomor Induk Mahasiswa) kita kayaknya ngebawa sial.”
“Aku paham banget maksud Rama. Soalnya teman-teman kita yang lain lancar-lancar aja ngisi KRS abis isi nama dan NIM mereka, kan.”
“Yah, gimana lagi, udah suratan takdir.”
Jika waktu belajar kami selesai bertepatan dengan jam makan siang, aku dan Rama sesekali akan pergi makan bareng di kantin kampus.
“Mau ke mana abis ini, Ram? Makan siang?”
“Iya, Man. Kan pas kita keluarnya jam makan siang. Aku rencananya mau makan di kantin belakang. Ikut, Man?”
“Boleh, Ram. Aku ikut deh.”
Suatu hari, saat sedang asyik-asyiknya mengunyah nasi goreng, aku bertanya blak-blakan, “Rama pernah bonding rambut enggak, sih? Soalnya rambut Rama keriting banget.”
“Pernah, Man,” jawab Rama datar tanpa ekspresi.
“Sumpah?” Malah aku yang terkejut berat mendengar jawaban Rama. Aku pikir dia bakalan menjawab ‘enggak’ mentah-mentah.
“Sumpah, Man. Kepikiran aku waktu itu buat nge-bonding rambut aku. Jadi yah, aku bonding aja.”
“Astaga, terus gimana hasilnya?”
“Ya rambut aku jadi lurus gitu. Kayak lepek tapi kelama-lamaan malah keliatan kering. Ujung-ujungnya cepat balik keriting lagi karena udah tumbuh rambut baru. Tau sendiri kan rambut cowok pendek, enggak kayak rambut cewek.”
“Emang rambut Rama kalo panjang bakalan jadi kribo gitu, ya?”
“Bener, Man. Suer deh, beneran! Kribo, kayak artis cowok kribo yang pernah Manda nampak di TV-lah.”
Mulutku ternganga enggak percaya sembari membayangkan wajah Rama pada saat rambutnya kribo. “Serius?”
“Makanya aku enggak suka kalo rambut aku panjang. Panjang dikit aja harus aku pangkas biar enggak jadi rambut kribo.”
“Ya ampun, padahal aku tadi nanyanya bercanda doang. Ternyata beneran kribo, ya. Ngeri, Ram. Jangan lagi dipanjangin sampai kapan pun, ya. Biarin aja rambut Rama kayak sekarang. Lebih bagus dan rapi.”
“Iya, ‘kan, Aku benar? Lebih bagus rambut aku kayak gini. Lagian, rambut kribo itu ribet ngerawatnya, Man. Susah disisir.”
“Kalo aku sih, lebih takut ada benda-benda aneh yang nyangkut di sana.”
“Eh, serius, emang gampang sisir nyangkut di sana.”
“Jangan bilang rambut Rama mirip kantong Doraemon.”
Kami sontak tertawa keras.
“Ya, mirip itulah. Manda mau apa? Silakan, tinggal masukkan tangan Manda ke rambut aku. Semua barang yang dibutuhkan ada di sana. Tadaaa!”