Umurku beranjak 17 tahun di pertengahan tahun 2002, ketika menyadari bahwa dunia begitu luas melebihi bayanganku. Dan aku tinggal di sebuah kota kecil yang mungkin seukuran tanda titik di peta dunia.
Dulu aku mengira di kota kelahiranku ini, segalanya sudah lengkap untuk menjalani sisa umurku. Sampai aku menyadari satu kekurangannya, tidak ada pantai di sini.
Kota ini memang kecil, tapi tidak pernah sepi maupun sesak. Suatu kali ketika aku TK, ayah pernah mengajakku ke ibu kota, untuk kali pertamanya aku sudah tidak nyaman dengan kota itu. Ayah memang menghasilkan uang yang banyak di sana, tetapi aku tidak akan pernah bisa menjumpai sungai jernih seperti di kotaku di antara gedung-gedung pencakar langit itu.
Maka dengan bodohnya, aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan kota kelahiranku. Setidaknya saat itu aku sangat mencintainya.
Aku tidak tahu entah kapan tepatnya ayah bekerja di ibu kota, ia selalu berkata akan memenuhi kebutuhanku sampai aku bisa menghasilkan uang sendiri. Setiap tahun ketika pulang ayah berbicara hal yang sama, sampai sebuah empati berubah menjadi perasaan hampa, meski tidak mungkin, aku terus merasa bahwa sebenarnya ayah ingin kabur dariku.
Maka karena semua latar itu, ayah meminta tolong kepada temannya yang sangat baik dan kebetulan mereka tinggal sebagai tetanggaku di perumahan kami, untuk merawatku. Sederhananya, ayah menitipkanku pada keluarga kawan karibnya.
Dan begitulah aku tumbuh, bersama kawanku Raka Oshadi, entah sejak kapan dan seluruh keluarganya yang menganggapku sama pentingnya seperti keluarga mereka sendiri.
Ayah Raka-lah kawan karib ayahku, keduanya bekerja di tempat yang sama, namun ayah Raka mempunyai posisi yang lebih tinggi di pabrik.
Bagaimana ibuku? Ada satu kenangan yang terus kuingat, saat itu aku dan Raka berumur 7 tahun, aku tidak menyadari bahwa kala itu aku sangat menginginkan seorang ibu. Begini kisahnya:
Raka kecil terus cemberut pada adiknya, Bhanu yang masih berusia 4 tahun. Dari kemarin setiap bermain, Bhanu terus mengikutiku dan Raka, Raka tidak menyukainya karena berarti ia harus menjaganya dan tidak bisa bermain sesuai perjanjian kami.
“Kau di rumah saja, di sawah ada ular yang panjang sekali.” kataku dengan nada menakuti.
Bhanu menatap Raka tanpa bereaksi apa pun.
“Sudahlah, nggak jadi pergi.” celetuk Raka ketus.
Akut tidak rela, hanya pada hari Minggu kami bisa bermain bebas ke mana saja. Kalau harus menunggu Minggu depan terlalu lama sekali, aku sangat tidak sabar untuk pergi ke sawah desa sebelah.
“Kita ajak saja!” aku memohon pada Raka. Sejenak Raka ragu ketika menatapku, namun akhirnya ia mengangguk samar dan kami berangkat berjalan kaki ke desa sebelah.
Aku dan Raka sangat suka bermain di desa sebelah. Perumahan kami tidak banyak memiliki anak seusia kami untuk diajak bermain. Sedangkan di desa sebelah kami yang sangat dekat, kami menemukan banyak anak desa bermain apa pun di halaman rumah mereka yang luas.