Bertemu dengan Brian adalah harapan terbesar Anna. Namun, Anna tidak menyangka akan berhadapan dengan Brian secepat ini. Anna tidak menyangka kalau Brian yang dia panggil adalah Brian yang sama dengan yang disebutkan oleh Diana saat di kantor.
Anna tidak terlalu mendengarkan percapakan yang terjadi antara Elijah, Kate, dan Brian. Anna terpaku beberapa saat, sampai kemudian namanya disebut.
"Brian, ini editor baru di kantor, namanya-"
"Anna."
Kalimat Kate yang akan memperkenalkan Anna dipotong oleh Brian.
"Iya, namanya Anna. Diana pasti sudah pernah cerita ke kamu," timpal Elijah.
"Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi," ucap Brian, mendekati Anna.
Bukan hanya Anna saja yang terkejut dengan pertemuan kembali ini, ternyata Brian juga.
"Kalian sudah saling kenal?" tanya Kate, memastikan tebakannya.
"Tentu saja, kami sudah lama kenal," sahut Brian.
Anna merasa kalau ini adalah sebuah takdir. Sebuah jalan yang membawanya kembali bertemu dengan Brian.
"Aku harus pulang sekarang," ucap Elijah setelah melihat ponselnya.
"Aku juga," sambut Kate. "Kamu mau pulang juga atau masih mau jalan, Anna?"
"Aku bisa jadi tour guied-mu, An," tawar Brian.
Anna menerima dengan senang hati tawaran Brian, mengangguk. "Boleh."
"Ya sudah, kalau begitu kami duluan, bye," pamit Elijah.
"Besok jangan nambah cuti lagi, Brian," canda Kate seraya melambaikan tangan. "Bye, Anna. Sampai bertemu besok."
Anna membalas lambaian tangan Elijah dan Kate. Setelah keduanya pergi barulah Anna menyadari akibat dari pilihannya. Lama tidak bertemu, membuat Anna canggung untuk berinteraksi berdua saja dengan Brian.
“Aku tidak menyangka–"
Kalimat Anna sama dengan Brian, keduanya sempat terdiam, lalu terkekeh.
"Aku tidak menyangka bisa melihatmu lagi, Anna."
"Aku juga," sahut Anna, berusaha menyembunyikan semu merah di pipi dengan rambut terurainya.
"Sudah diajak Elijah dan Kate jalan ke mana saja?" tanya Brian.
Anna lalu menyebutkan beberapa tempat yang dikunjunginya bersama Elijah dan Kate sebelum bertemu dengan Brian.
"Sudah hampir melewati seluruh jalan ini berarti," komentar Brian.
"Iya, dan sebenarnya kemarin, saat aku baru sampai, aku sempat jalan-jalan di sini," cerita Anna.
"Kamu langsung jalan? Wawww." Brian berdecak kagum. "Kamu tidak lelah?"
"Lelah, tapi aku mau melihat itu lagi. Dahulu, waktuku singkat, sementara tempat yang harus kukunjungi sangat banyak."
"Sekarang kamu punya banyak waktu melihat kemegahan Big Ben itu."
Anna memandangi Big Ben dari kejauhan bersama Brian, rasa takjubnya tidak berkurang sedikit pun.
"Emmm, Brian. Aku boleh tanya?"
"Tentu saja."
Anna berpikir ulang, menyusun kata-kata, agar pertanyaannya tidak disalahartikan.
"Apa kamu ada baca email dariku?" tanya Anna akhirnya. "Aku ada kirim pesan ke email-mu sebelum berangkat ke sini."
"Tidak ... aaa. Aku sudah tidak menggunakan email itu lagi. Maaf, Anna. Aku juga tidak ingat mencatat alamat emailmu untuk memberi tahu email baruku," jelas Brian.
Anna mengangguk, penjelasan Brian bisa dimengerti.
"Kamu tinggal di mana? Mau aku antar," tawar Brian.
"Tidak perlu, tidak jauh dari sini. Aku tinggal di dekat Hyde Park," tolak Anna secara halus.
"Hyde Park? Dekat dengan Selena, kan?"
"Iya, Selena yang membantuku mencarikan tempat tinggal."
"Kalian teman dekat?" tebak Brian.
"Selena kakak kelasku waktu di sekolah menangah atas. Kami tergabung dalam klub membaca buku di sekolah, hanya itu, tidak bisa dianggap dekat, tapi dia sudah banyak membantuku," cerita Anna panjang.
"Hmmm, aku memang ada mendengar kalau Selena yang kasih rekomendasi untuk editor baru, tapi aku tidak menyangka kalau itu kamu, An."
"Kalau dekat kediaman Selena, memang tidak terlalu jauh dari sini kalau naik kereta, tapi tidak apa-apa, sebaiknya kamu kuantar, biar aku tenang kamu sampai dengan selamat," lanjut Brian, sedikit memaksa.
"Oke," sambut Anna pelan, tidak bisa mencari alasan lain lagi untuk menolak tawaran Brian.
***
"Sampai bertemu besok, An. Aku pulang, bye," pamit Brian.
Anna melambaikan tangan, menutup pintu utama bangunan tempat tinggalnya setelah mendapat isyarat oleh Brian untuk masuk terlebih dahulu.
Langkah Anna sangat ringan, puluhan anak tangga menuju kamarnya di lantai 3 bahkan dianggap enteng.
Pagi-pagi sekali Anna sudah bersiap, mematut dirinya lebih lama di depan cermin. Sekarang, Anna harus menjaga penampilannya di depan Brian, memoles riasan tipis di wajahnya.
"Ini tidak berlebihan, kan?" gumam Anna, bertanya pada pantulan dirinya di cermin.
Anna mengenakan lipstik baru yang diberikan kakak iparnya sebelum berangkat. Warna lipstik baru tersebut lebih cerah dari lipstik satu-satunya yang pernah Anna punya. Anna menoleh, mencari tisu, menipiskan usapan lipstik warna rosy pink di bibirnya.
Setelah memastikan tampilannya rapi, Anna mengambil tas dan mengenakan wedgest setinggi lima sentimeternya, kemudian melangkah ringan seperti kemarin malam.
Tidak ada jet lag bagi Anna, semua efek samping setelah berpindah benua dan zona waktu itu terkalahlan oleh kehadiran seorang Brian.
Menuju stasiun, pikiran Anna sudah dipenuhi senyum ramah Brian. Ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap dalam dada Anna yang berdebar indah sepanjang perjalanan menuju tempat kerja.
"Pagi, Anna," sapa Brian.
Pria yang memenuhi kepalanya sekarang berwujud, nyata, menyambut Anna di pintu masuk gedung perkantoran.
"Pagi, Brian," sahut Anna dengan suara merdu.
"Selamat bekerja. Sebagai peringatan, saat ini di kantor kami sedang menghadapi masa–"
"Kemarau, lebih tepatnya sedang berjalan di gurun tandus yang gersang," potong Anna, ingat dengan kalimat Elijah kemarin.
"Hehe," kekeh Brian. "Kamu sudah tahu situasinya, Elijah atau Kate yang kasih tahu? Tidak mungkin Diana sendiri yang cerita, kan?"
"Elijah."
"Selamat datang di gurun, Anna, hehe."
Anna ikut terkekeh mendengar Brian yang kembali terkekeh saat mereka sampai di lantai 7–lantai yang ditempati perusahaan penerbitan milik Diana.
"Anna, bisa ke ruanganku sebentar," pinta Diana.
Anna mendapatkan anggukan dari Elijah, dan semangat dari Kate yang mengepalkan tangan di udara saat Anna mengekor Diana.
"Aku perlu bantuanmu untuk pergi ke Edinburgh, Anna."
Anna menunggu kalimat lanjutan dari Diana yang terdengar berat menyampaikan tugas pertamanya. Anna jadi deg-degan, kalau membaca dari wajah atasannya, tugas pertamanya ini bukan sembarangan tugas.
"Aku ingin kamu menemui dan membujuk seseorang di sana. Aku harap kali ini dia mau menemuimu, orang baru yang belum pernah ditemuinya."
"Kamu tahu, Anna. Dia seperti penyihir, dia bahkan sudah menutup pintu rapat-rapat saat kami mendatangi kediamannya di Edinburgh."
Anna mendengarkan dengan saksama penjelasan panjang Diana.