Brian memandangi jendela besar di kamarnya. Malam itu langit Jakarta cukup cerah sehingga dia bisa menikmati city light yang terhampar di hadapannya dengan sangat indah. Kondisi yang bertolak belakang dengan keadaan hatinya saat ini.
Lelaki 27 tahun ini sedang merenungkan kembali, mencari tahu di mana letak kesalahannya yang mungkin tanpa dia sadari telah menyeretnya ke titik ini. Namun, belum juga selesai proses memutar ulang memorinya tersebut, dia terpaksa harus menghentikannya karena suara dering telpon memanggil.
Brian melihat nama Rafa, sang asisten tertera di layar. "Iya, Fa, ada apa?"
"Sorry, Pak Bri, ganggu malam-malam. Saya baru dapat email dari Mr. Ahmed, dia meminta pertemuan kita dipercepat dalam dua hari ke depan. Gimana, Pak?"
"Oh, ya sudah. Diiyakan saja, terus kamu langsung pesan tiket pesawatnya buat penerbangan besok pagi. Saya packing dulu sekarang."
"Baik, Pak. Besok saya jemput sekitar jam 06:30."
"Oke."
Sambungan terputus. Brian menghela napas, kembali mengalihkan pandangan ke jendela kamarnya. Sepertinya, ini memang cara Allah mengalihkan semua luka—dengan menyibukkan diri pada tumpukan pekerjaan—sehingga pikiran tentang Iccha bisa teralihkan.
Brian kemudian, menelpon Ibu Indira untuk menyampaikan permintaan maaf—belum bisa pulang dan bertemu langsung dengannya—karena ada panggilan kerja mendadak. Beruntung dia memiliki ibu yang sangat pengertian, selalu mendoakan dan mendukung setiap langkahnya. Dirinya jadi lebih tenang ketika menjalani pekerjaan.
Pagi ini pun, Brian merasakan tubuhnya lebih fresh. Apa ini karena doa ibu semalam, ya? Prasangka baiknya pada sang bunda. Lelaki bekaki panjang ini menyambut kedatangan Rafa dengan wajah cerah.
"Wuih, lagi happy, Pak?" Rafa penasaran dengan ekspresi atasannya ini yang tampak berseri-seri.
"Masa, sih?" Brian menyentuh pipinya, lalu menggerakkan wajah ke kiri dan kanan. Memperhatikan tampilan dirinya dari pantulan kaca mobil yang akan dia naiki.
Terdengar suara desis dari hidung Rafa yang menahan senyum, melihat tingkah Brian. Dia kemudian, membukakan pintu mobil dan siap berangkat menuju bandara Soeta. Mereka mengambil penebangan jam 08:15 dengan menggunakan maskapai penerbangan terbaik di dunia.
Pukul 07:50, Brian dan Rafa sudah masuk ke dalam pesawat. Dulu, kalau ada perjalanan bisnis seperti ini, Rafa akan berangkat dengan tiket kelas ekonomi. Tapi, sejak Brian yang menjadi general manager di perusahaan, semuanya berubah. Dia selalu memperoleh fasilitas yang sama dengan atasannya ini.
"Pak, katanya sebelum kerja di perusahaan yang sekarang, dulu sempat jadi pramugara, ya?" Rafa membuka pembicaraan ketika mereka sudah take off menuju Bandara Internasional Hamad di Doha. Mereka akan transit di sana selama 4 jam sebelum kemudian, melanjutkan perjalanan ke kota Istanbul.
Brian menoleh ke samping sambil tersenyum. "Iya, kurang lebih sekitar 4 tahunan." Dia kemudian berpura-pura memejamkan mata agar Rafa tidak melanjutkan topik pembicaraannya lagi.
Memang cukup sulit untuk menghindari beragam kegiatan yang akan mengingatkannya pada sosok Iccha. Karena dari bidang inilah, semua kisahnya bermula.