Forget Me Not

Reni Haerani Supriadi
Chapter #10

Jika Itu Bukan Cinta

Keesokan harinya, Brian merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Mungkin disebabkan semalam, dirinya kurang tidur. Dia pun mengirimkan pesan pada Rafi bahwa mereka tidak jadi sarapan bersama. Lelaki itu ingin sedikit menambah jam tidurnya, sebelum nanti bertemu dengan Mr. Ahmed pada jam 12 siang.

Alarm di ponselnya berdering pada pukul 09:00, Brian menggeliat. Sinar mentari pagi menerobos dari celah-celah gorden jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Dia memicingkan mata sembari mengangkat sebelah tangannya, menutupi sebagian wajah yang terkena cahaya matahari.

Kemudian, dia bangkit dari kasur, mematikan alarm dan berjalan ke arah balkon. Menyibakkan gorden seluruhnya, lalu membuka pintu. Aroma segar bercampur bau garam langsung menyeruak. Brian menghirup udara tersebut sambil memejamkan mata. Sensasi kesegaran dan kebersihan yang berpadu seirama, layaknya suara ombak dan angin laut. 

Sepertinya, sekedar ucapan terima kasih takkan cukup untuk menggambarkan rasa syukur Brian pagi ini. Energi yang kemarin-kemarin nyaris terkuras habis, kini perlahan terisi kembali. Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi—dengan langkah pasti—dia keluar kamar menuju private room untuk menghadiri pertemuan dengan Mr. Ahmed.

"Gimana, Pak, udah nggak pusing lagi?" Rafa memastikan atasannya itu ketika mereka sudah bertemu di restoran hotel. 

"Alhamdulillah, ternyata aroma laut pagi ini jadi obat mujarab buat saya daripada parasetamol." Brian mengucapkan kalimatnya sambil tersenyum. 

"Halah, bisa aja Pak Bri ini ... aroma laut pula dibawa-bawa." Rafa geleng-geleng kepala. "Ayo, Pak ... kita langsung ke private room-nya aja. Tadi pagi saat sarapan, saya udah konfirmasi tentang ruangan yang telah di booking Mr. Ahmed," ujarnya seraya berjalan mendahului bosnya itu menuju tempat tujuan.

Tamu hotel mulai memenuhi restoran karena memang saatnya jam makan siang. Brian seketika kembali mencium aroma yang sama seperti saat mereka di Doha.

"Cari siapa, Pak?" Rafa heran ketika melihat Brian celingukan.

"Kamu cium aroma wangi yang waktu kemarin kita di Doha, nggak?"

Rafa bukannya menjawab malah mengendus-enduskan hidungnya mencari sumber aroma yang dimasudkan Brian. "Wangi yang gimana, Pak? Banyak gini orangnya."

"Ah, sudahlah. Hidung saya aja mungkin yang bermasalah." Brian tidak mau memperpanjang masalah.

Keduanya kemudian, memasuki sebuah ruangan khusus yang tertutup. Ruang makan yang tidak terlalu luas. Di sana ada meja berbentuk lingkaran berukuran sedang yang dikelilingi 4 kursi. Jendela-jendela kaca besar yang menghadap ke laut menjadi daya tarik tersendiri pada ruangan tersebut. 

"Pak Bri tahu, alasan Mr. Ahmed pilih hotel ini untuk pertemuan kita?" tanya Rafa. "Soalnya kalau lihat kualitas, masih banyak yang sama bahkan lebih bagus dari tempat ini." Rafa berkomentar lagi sambil mengamati pemandangan laut di depan jendela.

"Mungkin karena istri beliau orang Prancis dan hotel ini salah satu dari sekian banyak cabang hotel milik perusahaan Prancis juga. Bisa jadi, sebagai bentuk dukungan satu sama lain." Brian menjawab sambil duduk dan membuka ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk.

"Di negara kita, ada juga hotelnya kan, ya?" tanya Rafa lagi setelah ikutan duduk di samping Brian.

Brian mematikan ponselnya, lalu meletakkannya di atas meja. "Iya, ada sekitar 24 cabang di seluruh Indonesia. Perusahaan kita juga sering kerjasama dengan hotel-hotel ini."

Rafa manggut-manggut. Kemudian, pintu ruangan kembali terbuka, seorang pria seusia Brian datang menghampiri. Dia memperkenalkan diri sebagai asistennya Mr. Ahmed, namanya Mustafa.

"Mohon ditunggu sebentar, Mr. Ahmed sedang bertemu seseorang dulu." Mustafa menyampaikan informasinya. Kemudian, dia keluar lagi, tapi pintunya dibiarkan tetap terbuka.

Tak berselang lama, Brian melihat seorang pria yang sedang berbicara dengan perempuan berjilbab berhenti di depan pintu. Mungkin, itu Mr. Ahmed karena Mustafa berdiri di belakangnya. 

Posisi Mr. Ahmed menghadap ke dalam, sementara perempuan itu membelakangi pintu sehingga Brian tidak bisa melihat wajahnya. Situasi ini cukup membuatnya penasaran karena aroma wangi itu kembali tercium. Mungkinkah itu orang yang sama? 

Lihat selengkapnya