Forget Me Not

Reni Haerani Supriadi
Chapter #12

Semoga Berjodoh

Brian kembali gelagapan terciduk sedang menatap Esme. Dia mengalihkan pandangan ke arah Hagia Sophia yang berwarna jingga keemasan, terkena sinar mentari yang saat itu nyaris tenggelam. Kemudian, dirinya mengusap kepala bagian belakang, berpura-pura memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan tertiup angin.

"Eh, jadi-jadi. Menurutmu apa itu cinta?" 

Esme menurunkan kamera dari matanya, menatap ke depan untuk beberapa saat. "Random banget pertanyaan kamu, Mas?" Dia tersenyum, lalu kembali membidikkan kameranya.

"Penasaran aja, soalnya tadi kamu bahas tentang Allah mencitai hamba-Nya. Apakah itu berlaku juga buat sesama manusia?"

"Setiap orang pasti punya arti yang berbeda-beda tentang makna cintai. Tergantung dari sudut pandang mana mereka melihatnya. Kalau buatku, cinta itu Allah dan seluruh ciptaannya. Cinta itu kedamaian yang aku rasakan ketika berdoa, menangis di setiap sujudku dan memiliki harapan baru kalau semua akan terwujud karena kasih sayang-Nya." Esme menjawab dengan penuh keyakinan. "Ketika mencintai seseorang pun harusnya berdasarkan rasa cinta kita kepada Allah."

"Maksudnya gimana, tuh, mencintai karena Allah?" Brian bertanya lagi sambil menghadap ke arah Esme. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dengan posisi tangan kiri berada di atas tangan kanannya.

"Jadi, ketika seseorang mencintai orang lain karena Allah, dia akan melakukan segala sesuatu itu ke arah kebaikan yang Allah suka. Dia akan memberikan yang terbaik buat orang tersebut."

"Kalau ada cowok mencintai pasangannya dengan tulus, tapi si pasangannya itu tidak membalas cinta tersebut. Justru si cewek ini malah mengkhianatinya, itu kenapa?"

Esme nenghela napas. Kemudian, gadis berjilbab itu menutup kamera dan memasukkannya ke dalam tas. Selanjutnya, dia memutar badannya menghadap pada Brian.

"Berarti ceweknya itu tidak mencintai dia atau jangan-jangan kebalikannya. Sebetulnya, si cowok ini tidak benar-benar mencintai kekasihnya sehingga cewek ini, tidak bisa merasakan cinta tersebut." Esme mengedikkan bahu. "Oke, Mas Andra ... saya pamit duluan, ya. Permisi." Gadia itu berlalu begitu saja meninggalkan Brian.

Rupanya kapal pesiar yang mereka tumpangi sudah kembali ke dermaga. Rafa pun melambaikan tangan ke arah Brian yang tengah bergegas menyusul Esme. Namun, gadis itu sudah terlanjur turun duluan bersama Ms. Rossane. Keduanya terlihat buru-buru pergi. Sementara itu, Mr. Ahmed mewakili keduanya untuk berpamitan. Dia bilang, istrinya dan Esme ada keperluan mendesak yang harus segera diselesaikan.

Setelah malam itu, Brian dan Rafa hanya menambah satu hari berada di Istanbul. Sebagai bahan referensi dalam mengembangkan bisnis pariwisata di tanah air, mereka mengunjungi beberapa tempat wisata yang menjadi tujuan utama para pelancong di negara Turki ini.

Sekembalinya dari Turki, Rafa sedikit heran melihat bosnya ini lebih banyak diam. Salama berbulan-bulan, Brian sering terlihat murung. Lelaki ini juga kurang beristirahat karena menyibukkan diri pada lautan pekerjaan. Sebagai asistennya, Rafa sendiri jadi ikut kewalahan karena harus mengimbangi ritme kerja sang atasan.

"Pak Bri, waktu makan siang sudah hampir habis, nih ... mau dipesankan apa?" Rafa memberanikan diri bertanya karena Brian tak kunjung memberinya perintah padahal waktu sudah menunjukkan pukul 13:49.

Brian yang sedang sibuk dengan file-file kerjanya pun berhenti sejenak. Dia melirik jam yang melingkar di tangannya. "Oh, iya, sorry. Kamu saja yang pesan makan, saya nggak usah. Nanti saja kalau lapar, saya kabarin kamu."

"Tapi, Bos ... nanti saya kena omel Mbak Aiko lagi karena tidak mengurusi makan Pak Bri." Rafa masih mencoba membujuknya. Dia tidak mau terkena omelan adik sang atasan ini yang terkenal kalau bicara seperti petasan, merepet.

"Lho, barusan kamu sudah mengingatkan saya. Udah, nggak usah dipikirin!" Brian tak acuh, lalu kembali pada pekerjaannya.

"Bos ... maaf kalau saya lancang. Saya perhatikan, sejak kepulangan kita dari Turki, Pak Bri jadi banyak diam. Apa ada masalah?" Rafa bertanya dengan hati deg-degan. "Apa sudah ada kabar baru dari Mbak Ezmei terkait rencana kolaborasi kita tentang batik?"

Brian terlihat menjeda sejenak pekerjaannya, lalu menggeleng. "Saya belum konfirmasi lagi. Kan, kita nggak punya kontaknya. Mau tanya Mr. Ahmed nggak enak juga khawatir salah sangka."

"Ooh, pantesan." Rafi bergumam.

"Pantesan kenapa?" Brian yang tadi tak acuh malah terpengaruh oleh ucapan Rafi.

Rafi cengar-cengir. "Pantesan Pak Bri murung karena nggak bisa menghubungi Mbak Ezmei, ya?" 

"Sok tahu kamu!" Ekspresi wajah Brian langsung berubah. "Kenapa sampai punya kesimpulan seperti itu?" tanyanya sedikit ketus.

Lihat selengkapnya