Forget Me Not

Reni Haerani Supriadi
Chapter #14

Aroma Yang Sama

Tidak terasa sebulan telah berlalu. Rupanya, Brian tidak punya alasan kuat untuk menolak ajakan Aiko. Kali ini, dia kembali setuju ikut hadir ke kajian rutin komunitas para pengusaha muda, pelajar, dan mahasiswa. 

Sesuai janji Aiko, akhir pekan itu Biantara bisa datang juga ke kajian tersebut.

"Apa kabar, Bro. Senang banget bisa lihat lo di sini." Biantara menyapa Brian saat keduanya bertemu di pintu masuk ruangan.

"Iya, tapi jujur sebetulnya gue malu. Berasa paling nggak tahu apa-apa," keluh Brian sambil menundukkan kepala.

Biantara menggandeng bahu Brian sambil berjalan masuk ke ruangan. "Justru itu bagus, Ian. Lo jadi terpacu untuk belajar lebih banyak. Daripada merasa segala tahu, jatuhnya jadi sombong, terus dia nggak mau cari ilmu lagi."

Brian tersenyum, kini hatinya lebih lega. Ternyata, memang tidak salah memilih Biantara sebagai temannya. Seluruh jemaah yang hadir duduk lesehan. Antara peserta laki-laki dan perempuan diberikan kain pembatas, sementara ustadznya berada di panggung beserta moderator.

Tema kali ini membahas tentang rezeki. Dalam pandangan Islam, rezeki itu dapat diartikan sebagai segala hal yang memberikan manfaat kepada setiap makhluk ciptaan Allah. Tentu saja bentuknya tidak selalu berupa materi, tapi bisa juga tentang kesehatan, ilmu, jodoh, amal soleh, dan masih banyak hal lainnya.

Dan rezeki terbesar bagi seorang muslim itu, senantiasa ada dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Brian merenungkan kalimat terakhir yang disampaikan oleh ustadz. Dia baru menyadari selama ini tidak pernah memikirkan hal tersebut.

Selesai kajian, Brian mengajak Biantara untuk ngobrol-ngobrol sebentar di kafe yang tidak jauh dari tempat acara tadi.

"Gimana Ian, setelah ikut kajian tadi?" Biantara membuka obrolan. 

"Jujur, gue nyesel, sih," jawabnya yang membuat Biantara sedikit kaget. "Nyesel baru tahu sekarang, ternyata ikut kajian itu bisa seseru ini."

Biantara tertawa. "Gue kira lo nyesel beneran." Lelaki itu kemudian memanggil pelayan untuk memesan kopinya.

Brian ikut senyum-senyum. "Bro, gue masih penasaran soal jodoh, nih. Itu, termasuk bagian dari rezeki, kan?" tanyanya dan dijawab Biantara dengan anggukan. "Terus, kalau misal sudah nikah, di tengah perjalanan cerai, itu gimana? Awalnya jadi rezeki, habis cerai bukan rezeki lagi, gitu?"

Sang CEO manatap Brian sembari mesem-mesem. "Kenapa? Masih nungguin kemungkinan seseorang cerai?" sindir Biantara.

Wajah Brian langsung merona. Biantara bisa menebak pikirannya. Memang benar, pernah terlintas di pikiran, apa yang akan dia lakukan, seandainya Iccha bercerai dari Aldo.

"Gini, gini ... berdasarkan pemahaman gue, memang benar ketika pasangan menikah, itu berarti sudah jadi rezeki mereka bisa berjodoh. Tapi, kalau di tengah perjalanan akhirnya bercerai, itu juga rezeki. Artinya, jodoh mereka hanya sampai di situ."

Brian terlihat mengerutkan kening. Dia masih harus mencerna ucapan Biantara. Melihat reaksi temannya ini, sang CEO tersenyum lagi.

"Ian, jodoh itu ada 3 kategori, jodoh di dunia, jodoh di akhirat, dan satu lagi jodoh dunia akhirat."

Obrolan mereka terjeda karena pelayan datang menyuguhkan kopi pesanan mereka. "Terima kasih." Biantara berucap pada pelayan itu, lalu dia mulai menyesap macchiato favoritnya.

"Kalau kasus bercerai tadi, berarti itu jodoh di dunia aja, ya?" Brian bertanya lagi.

Biantara meletakkan cangkir kopinya. "Belum tentu juga. Bisa jadi, ketika di dunia mereka bercerai, tapi setelah itu keduanya memperbaiki, menjadi pribadi yang lebih baik, hubungan dengan penciptanya pun semakin dekat. Dan dalam pandanga Allah keduanya setara, mungkin saja di akhirat mereka berjodoh kembali."

Brian yang baru mau mengangkat cangkir cappucino-nya, berhenti sejenak. "Hah, gimana, gimana?" 

"Hahaha, udahlah nggak usah dipikirin. Daripada bahas itu, mendingan juga lo belajar cari jodoh yang baik itu seperti apa? Karena apa yang baik menurut kita, belum tentu baik dalam pandangan Allah. Begitu juga sebaiknya." Biantara menyudahi topik pembahasannya agar Brian tidak semakin pusing. 

"Nah, ini baru benar." Dia mengacungkan satu jempolnya sambil mesem-mesem. "Jadi, gimana caranya?"

"Karena jodoh ini bagian dari rezeki, berarti kita harus belajar dulu tentang konsep rezekinya ...." 

Belum selesai Biantara menjelaskan, tiba-tiba ada telpon masuk. Ekspresi wajahnya terlihat kaget saat membaca nama yang muncul di layar. "Sorry, ya gue angkat dulu!" Dia begitu serius mendengarkan perkataan seseorang dari seberang.

Sambungan telpon terputus, Biantara segera berdiri. "Maaf, Bro ... ada hal urgent yang harus gue urus. Kapan-kapan kita janjian lagi bahas soal konsep rezeki ini, ya."

Biantara terkesan sangat buru-buru, pasti itu sesuatu yang sangat berarti. Oleh karena itu, Brian hanya bisa mengiyakan tanpa banyak bertanya.

Lihat selengkapnya