"Mas Andra beneran nggak ingat?" Brisa malah balik bertanya. Dia menuruti keinginan Brian untuk memanggilnya dengan sebutan 'Mas'.
Brian menggeleng.
"Ih, aneh tahu, denger Kak Ian dipanggil begitu!" protes Aiko.
"Lho, kenapa emang?" sahut Brian.
"Ya, masa orang Betawi dipanggilnya 'Mas!'." Aiko berdalih.
Brian menoleh ke arah Brisa. "Ya, udah ... kamu panggil Mas kalau pas sendirian di depan aku aja," tanggapannya dengan wajah serius.
"Oh, jadi gitu? Kalian punya rencana untuk nggak ngelibatin aku lagi?" Aiko pura-pura kesal, padahal dalam hatinya dia berjingkrak-jingkrak. Itu artinya, harapan dia kemungkinannya bisa terwujud.
"Iih, nggak gitu, kok. Oke-oke, aku panggilannya tetap Kak Ian, deh," ucapnya dengan pipi yang kembali memerah.
Brian sedikit kecewa, tapi dia juga berusaha memahami keinginan adiknya itu. Dia tidak ingin terkesan memaksakan ini dengan terburu-buru.
"Eh, jadi sebelumnya, kita emang pernah ketemu?" Brian mengalihkan topik dengan mengulang pertanyaannya. Nafsu makan dia pun tiba-tiba hilang. Dirinya cukup kenyang dengan menatap wajah Brisa dan mengingat-ingat kapan mereka pertama kali bertemu.Kak Brian beneran nggak ingat?" Brisa malah balik bertanya.
"Ingat nggak? Tujuh tahun lalu, Kak Brian ketemu cewek yang lagi makan bakso di kantin?"
Brian terlihat sedang berpikir. Tujuh tahun lalu, artinya waktu yang sama ketika pertama kali mengenai Iccha. Tiba-tiba, matanya langsung melotot dengan mulut sedikit menganga. "Retta?" pekiknya. "Ya, ampuun ... sebenarnya nama kamu itu siapa, sih? Dulu, Retta, tempo hari Ezmei, dan sekarang Brisa."
Brisa tetkikik. "Maaf, nggak bermaksud menutupi, tapi panggilan itu memang sesuai pada masanya, kok. Retta karena teman-teman SMA memanggilku begitu. Brisa, itu panggilan saat aku kuliah. Ezmei karena kemarin, aku ketemu temen Papa yang orang Prancis, biar lebih akrab aja."
Brian manggut-manggut. "Terus sekarang, kita harus panggil kamu apa?"
Brisa mengedikkan bahu. "Whatever-lah. Bebas aja."
"Ya, udah, aku panggil kamu Mei aja, ya? Sama seperti saat kita pertama kalinya ketemu lagi, setahun lalu." Brian mengatakan itu dengan bibir yang tidak mau berhenti tersenyum. Oh my God, ternyata mata hazel itu memang milik orang yang sama, batin Brian.
Sementara Aiko, bergantian mengamati kedua orang ini dengan rasa curiga.
"Oh, iya, waktu di bandara Doha, apa kamu juga ketemu ibu-ibu berjilbab yang usianya kisaran empat puluhan?" Brian kembali bertanya. Dia ingin memastikan hasil analisanya waktu itu.
"Eh, Kak Ian lihat aku juga di sana?" Brisa kembali terkejut mendengar pertanyaan Brian.
Brian kembali membelalakan mata. "Hah, serius itu beneran kamu?"
"Iya, saat itu kan, transit 4 jam di Doha. Jadi, aku manfaatin waktu buat ketemu Bu Latifah. Dia pengasuhku pas kecil dulu dan sekarang lagi kerja jadi TKW di Qatar. Pokoknya, Bu Latifah ini orang yang sangat berjasa di hidupku. Kapan-kapan aku cerita soal dia, deh." Ada getaran halus di akhir kalimat yang diucapkannya. Mata dia juga terlihat berkaca-kaca.
Brian menangkap sinyal itu, tapi dirinya tidak mau banyak bertanya tentang hal ini di pertemuan sekarang. Dia pikir, masih banyak waktu untuk bertemu. Biarlah mereka saling mengenal lebih dalamnya secara perlahan. Lelaki ini kemudian geleng-geleng kepala. "Ck, ck, ck ... hidup memang beneran misteri ilahi, ya?" ujarnya.
Aiko dan Brisa saling berpandangan. "Apa, sih, Kak? Udah kayak judul sinetron aja," komentar Aiko.
"Hahaha, iya, ya? Tapi, emang beneran nggak nyangka, kan? Bakal ngalamin kejadian kayak gini?" ujarnya sambil kembali menuangkan daging dari piring berikutnya ke atas panggangan.