Brian banyak merenungkan kata-kata Aiko terakhir kali ketika mereka ngobrol sepulang kajian tempo hari. Dia mulai menyadari, seberpengaruh itu lingkaran pertemanan sehingga bisa mengubah cara pandang diri terhadap kehidupan.
Dulu, hidupnya hanya fokus pada pekerjaan dengan tujuan untuk menambah pundi-pundi rupiah. Dia selalu mengatasnamakan semua itu demi kebahagiaan orang-orang tersayang. Brian lupa cara bersyukur, dia juga abai tentang hak tubuhnya yang tidak hanya membutuhkan asupan nutrisi untuk raga, tapi juga jiwanya.
Berangsur-angsur kondisi mentalnya kian membaik. Dia juga mulai lebih sering berkomunikasi dengan Biantara, meskipun baru sebatas telpon atau chatting-an. Pasalnya, Brian belum punya banyak teman baru di luar lingkungan pekerjaannya.
Siang itu, Brian mengirimkan pesan pada Brisa.
Brian:
[ Mei, kapan punya waktu? Aku mau ngobrolin projek batik kita yang sempat tertunda hampir satu tahun ini. ]
Sudah 15 menit dia memandangi layar ponselnya, tapi balasan itu tidak kunjung datang. Sampai kemudian, sebuah notifikasi pesan masuk. Brian setengah terperanjat langsung membuka kunci layar HP-nya.
Namun, mata Brian terbelalak, setengah tak percaya dia melihat nomor yang muncul di sana dengan deretan pesannya.
0857xxxxxxxx:
[ Kak Ian, ini aku ... Iccha. ]
[ Kak, tolong aku, please—]
[ Mas Aldo sekarang mulai main tangan. ]
[ Aku takut. ]
Brian melempar ponselnya ke atas meja. Saking kerasnya sampai Rafa tergopoh datang ke ruangan.
"Ada apa, Pak?" Dia langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari sumber suara tadi.
Brian menundukkan kepala, memejamkan mata, menarik napas, lalu menghembuskannya dengan meniupkan udara keluar.
"It's okay, Fa. Saya baik-baik aja, tapi tolong ... sekarang, jangan nganggu saya dulu. Cancel semua pertemuan untuk hari ini!" Brian memberikan perintahnya sambil memutar kursi kerjanya ke arah jendela.
Rafa keluar sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sang asisten tidak paham apa yang terjadi, tapi ujung-ujungnya tetap saja dia juga yang menanggung akibatnya. Dirinya harus siap menghadapi beberapa klien dan mencarikan alasan yang tepat untuk membatalkan janji temu mereka.
Sebenernya, mau kamu itu apa, sih, Cha? teriak Brian dalam hati. Di saat dirinya mulai melepaskan Iccha, sekarang ... tiba-tiba malah datang lagi dengan kabar seperti itu.
Brian mengingat tema kajian yang tempo lalu dia bahas dengan Aiko. Apa seperti ini yang namanya takdir? Meskipun sudah berpisah, tapi Allah libatkan lagi dia dalam hidupnya yang sudah mulai membaik ini.
Sementara di tempat lain, di sebuah rumah yang ukurannya tidak terlalu besar, Iccha tengah gemetar sambil memegangi ponsel miliknya. Dia terduduk di pojok kamarnya dengan keadaan menyedihkan. Beberapa saat sebelumnya terjadi percekcokan antara dia dengan Aldo.
"Mas, popok Aina hampir habis. Kamu pulang kerja nanti, bisa mampir dulu untuk beli, kan?" Iccha bertanya pada suaminya sebelum berangkat kerja.
"Lihat entarlah. Hari ini aku kan, harus ke luar kota. Sekarang, cuma mau ambil SPPD aja ke kantor." Aldo menjawab tak acuh.
Iccha terlihat semringah. "Berarti bisa pulang cepat, dong. Gimana kalau sebelum berangkat kamu ajak aku sama Aina belanja dulu?"