Forget Me Not

Reni Haerani Supriadi
Chapter #18

Unlimited

Cemburu pada pasangan merupakan suatu hal yang wajar dalam kehidupan berumah tangga. Agama pun masih memperolehkannya selama tidak berlebihan. 

Apa yang terjadi pada Aldo, sepertinya juga karena rasa cemburu. Secara tidak sengaja dia mengetahui kalau Iccha diam-diam mencari tahu nomor kontak Brian yang baru.

"Jadi, maksud kamu kejadiannya baru pagi ini?" tanya Brian sambil menyuapkan sepotong sushi ke mulutnya.

"Iya, hari ini Aldo datang untuk mengambil SPPD karena dia ada tugas ke luar kota selama 5 hari," jawab Siwi. "Saat itu, nggak sengaja dia denger becandaan pegawai lain soal istri yang nyari-nyari info tentang nomor kontak mantannya."

Brian terlihat mengernyitkan kening. "Maksudnya, Iccha nyari tahu nomor saya yang baru? Bukannya dia udah lama keluar kerja, ya?" Brian menyeruput minumannya.

Siwi mengangguk. "Iya, beberapa bulan setelah menikah. Perutnya yang semakin kelihatan membesar dan orang-orang banyak bergunjing tentang kehamilannya itu, membuat dia tidak tahan lagi. Dirinya pun memutuskan untuk mengundurkan diri."

Wajah Brian langsung memerah, dia melengos dengan tarikan napas yang terdengar jelas.

"Mungkin, saat tahu nomor Pak Brian tidak bisa dihubungi lagi, dia cari tahu ke administrator database."

"Lho, itu kan, rahasia perusahaan. Kenapa bisa sampai bocor begitu?" Biantara menaruh kembali potongan salmon yang hampir masuk ke mulutnya. "Nanti, panggil dia untuk menghadap saya!" sedikit meninggikan suara.

Setiap penanggung jawab projek dari sebuah perusahaan yang pernah bekerja sama, maka data pribadinya masuk ke dalam database kantor. Administrator selalu memperbarui data tersebut seandainya ada perubahan, termasuk nomor kontak klien.

"Baik, Pak, nanti saya sampaikan. Sepertinya, dia juga kaget karena bicara keceplosan. Saat itulah Aldo mendengarnya." Siwi menuturkan kronologis kejadiannya.

"Lalu, apa yang terjadi?" Wajah Brian kelihatan sangat khawatir.

"Aldo langsung pulang dalam keadaan marah. Kita baru kali ini lihat dia begitu, seperti dua kepribadian yang berbeda."

Biantara dan Brian saling berpandangan. "Apa maksudmu dengan dua kepribadian yang berbeda?" tanya Biantara.

Siwi pun menceritakan bagaimana awal Aldo datang ke perusahaan itu sebagai seorang lulusan dari institut kesenian dengan jurusan desain produk. "Dia lelaki yang baik. Tidak hanya ramah, tapi dia juga senang membantu siapa pun yang butuh pertolongan."

Brian mendengkus kesal. Sebaik apa, dia? Sampai bisa membuat Iccha berpaling dariku, cibirnya dalam hati.

"Dia juga banyak disukai pegawai lain terutama para jomlowati seperti tadi, saat Pak Brian datang." Siwi kembali menyindirnya.

"Berarti mantan lo, seleranya bagus juga, Ian." Biantara ikut-ikutan meledak temannya itu.

Brian hanya menyeringai. 

"Ya, kali, Pak ... Iccha juga pasti mikir, masa sebelumnya dapat spek VOC modelan Pak Brian, terus penggantinya biasa aja." Siwi menimpali candaan Biantara.

"Heh, kamu kira saya penjajah?" Brian melotot.

Biantara pun tergelak. "Lagian, kamu salah Wi, dia bukan VOC, tapi Nippon."

Ketiganya pun tertawa. "Wi, kamu balik ke meja kamu aja, sana!" titah Biantara setelah tawa mereka reda.

"Baik, Pak, saya permisi." Siwi bangkit dari duduknya. "Mari, Pak Brian."

"Makasih, ya, Wi. Kapan-kapan kalau perlu, saya kontak kamu lagi," ucap Brian sesaat sebelum Siwi keluar.

"Siap, Pak." Siwi mengangguk kecil, kemudian berjalan keluar ruangan.

Sepeninggal Siwi, Biantara melihat Brian memandangi layar ponselnya. "Sekarang, apa rencana lo selanjutnya?"

Brian mematikan layar ponselnya dan meletakkan benda pipih berwarna hitam itu di atas meja. "Entahlah, gue sendiri bingung. Lagian, kalau seandainya sekarang ikut terlibat, gue rasa ini juga bukan tindakan yang tepat. Bagaimana pun dia itu istri orang."

Lihat selengkapnya