Forget Me Not

Reni Haerani Supriadi
Chapter #22

Pertolongan

Suara notifikasi pesan itu masuk secara beruntun. 

Siwi:

[ Maaf, Pak Bri ... saya ganggu malam-malam. ]

[ Jujur, saya juga nggak tahu apakah tindakan saya ini benar atau salah. ]

[ Tapi saya nggak tahu harus menghubungi siapa, selain Pak Bri. ]

[ Saya nggak tega lihat Iccha. Ya, walaupun dia pernah salah, tapi bukan berarti nggak berhak kita tolong, kan, Pak? ]

[ Kebetulan saya lagi di luar kota bareng suami, jadi nggak bisa langsung tolong dia. ]

[ Ini ada kenalan saya yang pernah jadi klien di perusahaan dan dia kenal Iccha juga] 

[ Barusan kirim foto, katanya dia lihat Iccha di depan sebuah kafe sambil nangis meluk anaknya. ]

[ Sepertinya, dia berantem sama Aldo, karena katanya juga, sebelum dia nangis itu sempat cekcok dengan seorang lelaki yang datang ke kafe itu bersama perempuan lain. ]

[ Ini saya shareloc tempatnya, semoga Pak Bri bisa bantu dia. ]

[ Saya nggak share ke temen-temen kantor karena nggak mau Iccha jadi bahan gunjingan lagi. ]


Karena fokus membaca pesan-pesan itu, Brian pun tidak merespon pertanyaan Aiko. Dia malah sibuk mengetikkan pesan balasan. Tangannya terlihat sedikit gemetar, berulang kali menghapus pesan dan mengulang mengetikkannya lagi karena typo. Padahal, hanya satu kalimat yang dia tulis.

Brian:

Thanks, Wi ... saya coba samperin ke sana. ]


Wajah Brian terlihat tegang dan pucat. Dia menatap Aiko, lalu beralih pada Brisa yang ternyata sama-sama tengah memperhatikan dirinya dengan sorot mata penuh tanya.

"Ai, sorry ... gue ada urusan mendadak. Lo sama Mei naik ojol aja, ya, nggak apa-apa, kan?"

Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban itu, Brian ajukan sembari tangannya tetap sibuk menghubungi seseorang. Dia mengeluarkan earbuds dari saku celana, lalu memasangkan itu pada kedua telinganya. Sambil menunggu sambungan teleponnya terhubung, lelaki ini melihat ke arah Brisa.

"Maaf, ya, Mei ... aku nggak bisa nganterin kamu," ucapnya. Ada perasaan bersalah Brian rasakan pada gadis itu, tapi di sisi lain, dia juga tidak bisa menolak dorongan hatinya untuk memenuhi permintaan Siwi.

"Kak, sebenernya ada apa, sih? Lo mau ke mana?" tanya Aiko masih berusaha mencegah kepergian kakaknya. Dia merasa curiga. Jangan-jangan urusan cewek itu lagi? tebaknya dalam hati. 

"Entar gue ceritain," jawabnya sembari berjalan menuju pintu mobilnya. Kemudian, dia masuk dan langsung melajukan mobilnya itu meninggalkan sang adik yang masih berdiri terpaku menatap kepergiannya.

Aiko tahu betul, seumur hidupnya, Brian akan panik seperti itu hanya untuk urusan yang menyangkut ibunya, adiknya atau Iccha. Sekarang, ibu dan dirinya baik-baik saja, itu artinya hanya tinggal satu kemungkinan.

"Ai, itu Kak Ian baik-baik aja, kan? Kelihatannya panik banget," ujar Brisa sesaat sebelum mobil Brian menghilang dari pandangan. 

"Entahlah, semoga nggak ada apa-apa," sahut Aiko mencoba menepis semua prasangka.

Sementara, Brian yang tengah menyetir masih berusaha menghubungi seseorang. Sampai kemudian, ada suara terdengar dari seberang.

"Ya, Pak ... maaf, tadi saya lagi di toilet, nggak bawa HP," ujar Rafa menyampaikan alasan kenapa dia lama mengangkat telponnya.

"It's okay, sekarang kamu dengerin saya!"

Rafa pun diam menyimak ucapan atasannya itu.

"Saya yakin, kamu adalah orang yang bisa dipercaya. Sekarang, tolong temui saya di jalan Bumi, Kebayoran Baru. Udah saya share lokasinya." Brian memberikan perintahnya.

"Oh, oke. Siap, Pak ... saya jalan sekarang juga." Tanpa banyak berpikir, Rafa langsung memenuhi permintaan atasannya itu.

Klik! Sambungan telpon pun terputus. Brian melanjutkan perjalanannya menuju kafe di jalan Bumi sesuai dengan tempat yang di shareloc oleh Siwi. Hanya membutuhkan waktu kurang dari 15 menit, dia sudah tiba di sana. Lelaki ini memarkirkan mobilnya di seberang jalan, tetapi tidak persis di depan kafe tersebut. Karena dia berhenti di depan sebuah kantor yang sudah tutup, jadi keadaan di sekelilingnya cukup gelap.

Suasana lalu-lintas jalanan masih ramai karena waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam. Dari balik jendela mobilnya, Brian melihat seorang perempuan duduk di kursi luar kafe tersebut, sambil memeluk anak dalam gendongnya. Meskipun wajahnya tidak terlihat jelas karena kepalanya tertunduk, tapi dia bisa memastikan memang benar itu Iccha. Pakaian yang dikenakannya, hadiah terakhir yang Brian berikan sebelum mereka putus.  

Brian menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan mata terpejam. Dengan cepat, otaknya memanggil ulang semua ingatan akan peristiwa tujuh tahun lalu. Kejadiannya nyaris serupa. Bahkan dia bisa mengingat dengan detail ekspresi wajah Iccha kala itu. Dadanya terasa sesak, ketika mengingat sorot mata penuh luka yang terpancar dari wajah sang mantan. Brian menarik napas panjang. 

Tiba-tiba, suara ketukan di jendela membuat Brian kembali tersadar. Dia menoleh ke arah jendela sebelah kiri, ternyata Rafa sudah berdiri di sana. Kaca mobil pun perlahan dia turunkan.

Lihat selengkapnya