Forget Me Not

Reni Haerani Supriadi
Chapter #23

Ratatouille

Sepanjang perjalanan pulang, Brian terus memikirkan apa yang baru saja dilakukannya. Harusnya, dia bisa saja menolak permintaan Siwi itu, tapi entah kenapa kekhawatiran akan terjadi hal buruk pada Iccha mampu mengalahkannya.

Apa aku terlalu mencintai Iccha? Kenapa sulit sekali untuk tidak lagi peduli padanya?

Karena berkendara sambil melamun, tanpa disadari pikiran bawah sadarnya telah membawa Brian ke arah yang salah. Lelaki itu baru menyadari saat mobilnya memasuki gerbang komplek perumahan ibunya di daerah Jatinegara. Padahal, niat awal dia itu pulang ke apartemen pribadinya di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Ya, udahlah, terlanjur sampai sini, aku mampir dulu sebentar, gumam Brian sambil terus melajukan mobilnya menuju kediaman sang bunda.

Brian turun dari mobilnya begitu dia sampai di depan rumah. Dia pun mencoba mendorong pintu pagar dan ternyata masih terbuka. Mungkin karena waktu baru menunjukkan jam 20:15 sehingga gerbang itu belum terkunci.

Setelah memarkirkan mobilnya, Brian pun masuk ke rumah lewat pintu samping yang berhubungan langsung dengan garasi. Pintu itu selalu terkunci kalau dia tidak di rumah. Oleh karena itu, Brian selalu membawa kunci cadangan agar ketika pulang bisa masuk tanpa harus mengetuk pintu.

Suasana rumah sangat sepi, padahal malam belumlah larut. Brian beberapa kali mengucapkan salam, tapi tak ada yang menjawab. Dia melangkah menuju ruang keluarga. 

Pantesan ..., gumamnya.

Begitu memasuki ruangan tersebut, Brian melihat Aiko sedang duduk di sofa dengan mengenakan piyama favoritnya. Sepertinya, sang adik tertidur saat membaca karena kepalanya sedikit menengadah bersandar pada sandaran sofa dengan wajah tertutup buku. 

Brian duduk di sampingnya. Kemudian, dia merentangkan tangan kirinya dan mengusap lembut kepala adiknya. "Ai, kalau udah ngantuk, pindah sana ... tidur di kamar," ucapnya lembut.

Sentuhan Brian yang tiba-tiba telah mengejutkanny. Dia perlahan menurunkan buku dari wajahnya, lalu menoleh ke samping.

Untuk beberapa saat keduanya sama-sama terpaku. Degup jantung mereka pun kembali berdetak lebih cepat.

"Astaghfirullah ...!" seru mereka hampir bersamaan.

Keduanya sama-sama terperanjat, ternyata yang duduk di sofa itu bukan Aiko melainkan Brisa. 

"Maaf ... maaf ... Mei! Aku kira tadi Aiko," sesalnya sembari refleks menggeser posisi duduknya agak menjauh.

"Iya, Mas ... aku juga minta maaf karena nggak hati-hati. Harusnya tadi menolak saat ditawarin pakai piyama Aiko." Brisa tertunduk dengan wajah yang memerah.

"It's okay, Mei ... kamu nggak salah. Semua di luar kendali kita. Tapi tadi sempet kepikiran juga, sih .... tumben di dalam rumah Aiko pakai jilbab," ujarnya. "Eh, btw Aikonya mana?" tanya Brian lagi sembari celingukan mencari sang adik.

"Tadi, sih, bilangnya mau bersihin wajah dulu. Kita janjian mau nonton, tapi ditungguin nggak dateng-dateng, makanya aku sampai ketiduran."

Brian sedikit mesem. "Mungkin sama, dia juga ketiduran," timpalnya. "Oh, iya, kalau Ibu, mana?"

"Oh, pas kita datang pun Ibu udah nggak ada di rumah. Tadi, sih, Aiko bilangnya, Ibu tulis pesan di pintu kulkas kalau malam ini nginep di rumah ...." Brisa terlihat sedang mengingat-ingat, "Om Anwar kalau nggak salah. Istrinya harus dirawat di rumah sakit, jadi Ibu diminta jagain anak-anak mereka."

"Ooh ...." Hanya itu kata yang keluar dari mulut Brian.

"Mas, udah makan?" Tiba-tiba gadis itu mengajukan pertanyaan tak terduga.

Brian malah senyum-senyum mendapat pertanyaan begitu.  "Kamu kayaknya udah nyaman banget manggil aku, 'Mas'," ujarnya menggoda gadis itu.

"Iih, bukan gituu ...." Brisa merajuk. "Kan, katanya, Kak Ian lebih suka dipanggil 'Mas', aku cuma nurutin aja," dalihnya masih dengan bibir cemberut.

Brian langsung menghela napas sembari memutar bola mata ke atas, lalu memalingkan wajahnya. Kemudian, dia memejamkan mata dan menggigit sebelah bibirnya. "Oh my God, kenapa dia gemesin gini, sih?"

 "Terus, aku harusnya gimana?" tanya Brisa lagi sambil menundukkan kepala.

"Eh, udah bener, kok. Aku seneng kamu panggilnya, 'Mas'. Nggak usah diganti!" Brian buru-buru menegaskan, daripada kehilangan satu hal yang menyenangkan hatinya saat ini. "Tadi tanya-tanya aku, kamu sendiri udah makan?" Dia balik bertanya sekaligus mengalihkan topik.

"Udah, tadi sama Aiko pesen online. Mas, laper?" 

"Kalau iya, kenapa? Mau masakin buat aku?" tanya Brian iseng.

"Oh, boleh ... kalau emang Mas mau," tawarnya yang langsung dibalas anggukan lelaki itu.

Lihat selengkapnya