Posisi Brian dan Rafa saat itu, memang membelakangi seseorang yang sedang mengamati mereka dari jauh.
Itu kan, Pak Biantara? Ngobrol sama siapa hingga diantar sampai lobi? Pasti orang penting, batinnya penuh tanya. Tapi kok, postur tubuhnya kayak familiar gitu?
Brian pamit pada Biantara sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan.
"Oke, Bro ... jangan lupa, akhir bulan nanti calonnya dibawa!" Biantara mengingatkan sambil menerima uluran tangan sahabatnya itu.
"Hahaha, doakan dianya mau," balas Brian. "Ayo, Fa!" ajaknya pada sang asisten.
Rafa pun berpamitan pada Biantara. Kemudian, dia membukakan pintu mobil yang ada di depan mereka.
Hah, jadi bener itu Kak Brian? gumam seseorang yang sejak tadi mengamati ketiga lelaki itu. Rupanya, mereka masih berhubungan baik meskipun aku udah ngundurin diri.
Kemudian, dia melihat Rafa yang akan menaiki mobil. Tunggu! Itu bukannya Mas Rafa yang sebulan lalu nganterin aku pulang? Jadi, yang bantuin aku itu sebenernya Kak Brian? Dia tersenyum penuh kemenangan.
Orang yang sejak tadi memperhatikan dari jauh tersebut, ternyata Iccha. Pada awalnya, perempuan itu berniat untuk bertemu Siwi. Ibu satu anak ini ingin bertukar pendapat, seandainya dia memilih untuk bercerai dari Aldo. Selain itu, Iccha juga sekalian mau meminta bantuan biaya selama dia belum punya pekerjaan lagi. Namun, setelah melihat adegan barusan, dirinya berubah pikiran.
Iccha mengira sampai sekarang, Brian memang belum bisa melupakannya. Hanya saja, demi menjaga nama baik, lelaki ini tidak ingin berhubungan langsung dengan dirinya. Sehingga dia mengunakan Rafa untuk menutupi tindakannya tersebut.
Begitulah kesimpulan sok tahu Iccha yang pada akhirnya, membuat dia mengambil keputusan untuk segera mengajukan gugatan cerai pada Aldo. Tadinya, wanita satu anak ini masih ragu dalam mengambil sikap, tapi sekarang sudah tahu jawabannya. Apalagi sejak peristiwa pencekikan itu, suaminya tak lagi pulang ke rumah.
Dari kabar yang dia dengar, sang suami sering ketahuan tengah bersama perempuan lain. Bergonta-ganti pasangan menjadi kebiasaan barunya Aldo. Bahkan, dia sudah beberapa kali terkena SP. Lelaki itu terancam di PHK jika terus-terusan mangkir dari pekerjaannya.
Saat ini, kehidupan Iccha kembali mengalami masa sulit. Dia tinggal di Jakarta sebatang kara karena sejak putus dari Brian, Ibu dan adiknya pun kembali ke kampung. Apalagi setelah menikah, perempuan ini seperti melupakan keberadaan keluarganya itu.
Sepanjang perjalanan pulang, Iccha berpikir keras, bagaimana caranya agar bisa kembali bersama Brian. Siang itu, dia sengaja tidak membawa Aina agar bisa lebih leluasa bergerak. Beruntung ada tetangga baru yang baik mau dititipi. Pasangan suami istri yang jauh dari anak cucunya sehingga kehadiran Aina bisa menjadi obat rindu mereka.
Setelah beberapa saat, akhirnya Iccha mendapatkan ide cemerlang. Mumpung sendirian, dia pun langsung berangkat menuju daerah Jatinegara. Tujuannya ke mana? Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, tentu saja kediamannya keluarga Brian.
"Siang Pak, maaf mau tanya, kalau rumah Bu Indira masih yang itu?" tanya Iccha pada satpam komplek perumahan Brian. Dia ingin mengorek informasi, apa benar keluarga tersebut masih tinggal di sana.
"Oh, Mbak siapanya Bu Indira?" Pak Satpam tidak langsung memberitahukannya sebagai bentuk kewaspadaan.
"Saya kawan lama anaknya. Dulu, suka main ke sini, tapi setelah pindah saya baru sekarang ke sini lagi." Iccha berbohong.
Kemudian, dia menunjukkan foto dirinya bersama Bu Indira dan Aiko saat Idul Fitri beberapa tahun silam. "Ini buktinya, Pak!"
Satpam itu memperhatikan dengan seksama foto di layar ponsel dengan tampilan aslinya. Memang terlihat sangat mirip, hanya potongan rambutnya saja yang berbeda. Parasnya sangat ayu, nggak ada sedikit pun tampang orang jahat, pikir Pak Satpam. "Nama Mbaknya siapa?" tanyanya lagi.
"Saya Nia, Pak."
"Oh, oke Mbak Nia. Memang betul Bu Indira masih tinggal di sini, tapi hari ini, sepertinya di rumah beliau lagi nggak ada orang. Tadi pagi, saya lihat Pak Brian berangkat kerja. Nggak lama, Bu Indira juga pergi. Kalau Neng Aiko, sejak kemarin, kayaknya saya emang belum lihat lagi, deh." Pak Satpam jadi nyerocos kebablasan.
Iccha tersenyum, ternyata wajahnya memang masih bisa diandalkan. Dia meyakini orang-orang itu mudah percaya karena tampangnya yang memesona. Walaupun sudah beranak satu, dia merasa tidak banyak yang berubah.
"Ya, sudah ... nggak apa-apa, Pak. Saya permisi dulu aja, kapan-kapan mungkin ke sini lagi." Iccha pamit.
"Baik, Mbak. Nanti, saya sampaikan juga ke Bu Indira kalau Mbak Nia datang ke sini."
"Terima kasih." Iccha pun berlalu dengan senyum penuh kemenangan.
Sekarang itu, hari Rabu dan Bu Indira berangkat keluar rumah agak siangan. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa ibunya Brian masih melakukan rutinitas yang sama seperti dulu. Wanita paruh baya itu mengikuti kelas Ikebana—seni merangkai bunga yang berasal dari Jepang Kuno—setiap hari Rabu, dari jam 09:00 - 11:00. Informasi ini akan mempermudah langkah Iccha selanjutnya.
Sambil bersenandung, Iccha pulang ke rumah kontrakannya. Mulai besok, dia akan menyusun strategi agar tujuannya bisa cepat tercapai. Apalagi uang bantuan dari Siwi jumlahnya kian menipis. Ini berarti, dia harus segera bergerak melancarkan aksinya.
Lain cerita dengan Brian yang siang itu tampak semringah. Sepulangnya dari kantor Biantara, dia sibuk menghubungi seseorang.
"Pak, lagi happy, ya?" tanya Rafa pada saat dirinya menyerahkan beberapa dokumen untuk ditandatangani Brian.