"Ibuuu ...!" pekik Aiko lantang sembari menghambur kepelukan ibunya. "Aku kangen banget."
Bu Indira menyambut pelukan putri bungsunya. Keduanya berpelukan erat. "Ibu juga kangen sama kamu, Ai."
"Terus, kapan giliran aku?" Brain merajuk seperti anak kecil.
Bu Indira terkikik geli. "Sini, sini, pelukan bareng-bareng!" ucapnya seraya merentangkan sebelah tangannya memberikan ruang untuk Brian ikut masuk dalam pelukannya.
Ketiganya berpelukan cukup lama. Sampai kemudian, Brian mengendus-enduskan hidungnya. "Habis ada tamu, Bu?" tanyanya yang membuat jantung Bu Indira seketika berdegup kencang.
Pelukan pun terurai karena Aiko jadi ikut penasaran. Gadis berkaca mata itu langsung menyapukan pandangan ke seluruh ruangan.
"Emang bau apa? Rasanya Ibu nggak cium apa-apa," elaknya mencoba mengalihkan perhatian.
Brian menjatuhkan tubuhnya di sofa, tapi aromanya malah semakin kuat tercium. "Kayak wangi bayi, Bu. Ada sodara yang dateng bawa bayi?"
Kok, masih tercium, sih? Aku kan, udah bersihin semuanya. Bu Indira membatin.
"Ooh, itu, iya ... kemarin ada temen baru Ibu di tempat kursus merangkai bunga, main ke sini. Dia baru punya bayi." Bu Indira terpaksa berbohong.
"Kak Ian tuh, emang penciumannya tajam. Aku aja nggak nyium apa-apa," timpal Aiko sambil duduk di samping kakaknya, lalu kembali mencoba mengendus-endus sofa mencari sumber bau yang tercium Brian.
Brian terkekeh sembari tangannya mengacak-acak kepala sang adik. "Lo, sih, waktu kecil kebanyakan nangis ... jadi aja idungnya tersumbat," candanya sengaja menggoda Aiko.
"Eh, eh, emang siapa yang bikin aku nangis? Makanya jadi kakak itu harus baik, bukan nangisin adeknya." Aiko balik menyindir sang kakak karena sejak kecil memang Brian sering kali menjailinya.
Bu Indira tersenyum melihat keakraban anak-anaknya. Hatinya terasa hangat. Dia bersyukur, setidaknya satu hal yang diharapkan suaminya sudah terkabul. Memiliki anak yang saling mengayomi dan menyayangi.
"Udah malam, sana istirahat dulu! Besok kita cerita-ceritanya. Ibu udah nggak sabar pengin denger keseruan kalian selama di sana."
Brian dan Aiko pun menuruti perintah ibunya. Keduanya langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Sementara, kamar Bu Indira memang ada di lantai satu dekat ruang keluarga.
"Ai, besok malam lo temenin gue ke apart-nya Brisa, ya!" ajak Brian saat keduanya sudah berada di depan kamarnya masing-masing.
"Hah, ngapain?"
"Gue ada perlu sama dia."
"Aduh, Kak ... kayak nggak ada hari lain aja. Emang nggak capek, apa? Gue, sih, masih pengin leyeh-leyeh di rumah."
"Kalau ditunda lagi takut nggak sempet, Ai. Mulai lusa kerjaan gue udah menggunung."
Aiko mengernyit. "Halah, lebay!"
"Eh, serius. Pas di Turki aja, gue cek e-mail udah banyak banget yang masuk dan itu semua nunggu di-approve segera."
"Emang ada perlu apaan, sih?" Aiko mulai kepo.
"Udah, besok aja. Entar juga lo tahu," jawab Brian sambil masuk kamar dan langsung menutup pintunya.
Aiko langsung menggerutu karena merasa dipermainkan. Kakaknya seolah sengaja membuatnya penasaran seperti ini. Sepanjang malam, gadis itu jadi gelisah, tidurnya pun tak nyenyak. Sedangkan Brian, malah merasa puas karena berhasil menjaili adiknya lagi.
Keesokan harinya, kakak beradik ini menghabiskan waktu bersantai di rumah sambil menikmati masakan ibunya. Aiko juga tidak berhenti bercerita tentang keseruannya kala menyebrangi selat Bosphorus. Pengalaman pertamanya memberi makan burung-burung camar yang berterbangan di atas dek kapal.
Brian hanya senyum-senyum mendengarkan adiknya tak berhenti mengoceh. Bagi dia, tidak ada yang lebih indah kenangan di selat Bosphorus itu, selain ketika pertama kalinya bertemu kembali dengan gadis bermata hazel.
"Kalian mau Ibu masakin apa buat makan malam?" tanya Bu Indira selepas mereka menyelesaikan makan siangnya.
"Baru aja kelar makan siangnya, Bu, udah ditanyain lagi makan malam," sahut Aiko sembari mengusap-usap perutnya yang terasa sangat kenyang.
Bu Indira terkekeh. "Maksudnya biar Ibu siapkan gitu, lho."
"Ibu, maafkan Ian, kayaknya entar malam nggak bisa makan di rumah."
"Oh, Ian ada acara?" Bu Indira balik bertanya.