Kecurigaan Brian dan Aiko terhadap keanehan rekening Bu Indira memang tidak langsung dikonfirmasi pada ibunya. Kakak beradik ini memilih menyelidiki secara diam-diam dulu hingga menemukan bukti yang jelas.
"Kak, kerjaan gue di kantor lagi numpuk banget gara-gara cuti kemarin. Jadi kayaknya gue belum bisa nyari info lebih lanjut soal rekening Ibu," keluh Aiko siang itu. Dia sengaja menelpon kakaknya saat jam istirahat.
"Iya, nggak apa-apa. Gue juga sama. Yang penting Ibu masih baik-baik aja, kan? Di rumah nggak ada yang mencurigakan?"
"Aman, cuma aneh aja, tiba-tiba Ibu jadi suka belanja."
"Nggak apa-apalah, mungkin itu hiburan buat Ibu. Atau mungkin, lagi ikut kegiatan donasi buat anak-anak. Lo makanya lebih sering temenin Ibu, noh!"
"Idih, nggak cuma gue aja, kali. Apalagi lo anak cowok, tugas ngurus Ibu tuh, seumur hidup!"
"Iya, gue tahu. Makanya pengin cepet nikah, biar ada yang bantu nemenin pas gue kerja."
"Weh, emang Brisa mau gitu, nggak kerja?"
"Hahaha, aamiin Brisa jadi istri gue. Tapi, emang dia kan, nggak kerja di perusahaan orang lain. Semua aktivitas bisnisnya bisa dikerjain di rumah."
"Alah, sotoy lo!"
"Eh, ngomong-ngomong soal Brisa, gimana, lo udah dapet kabar soal lamaran gue?"
"Emang lo nggak kontak-kontakan ama dia?"
"Sejak malam itu, nggak. Tadinya biar kita bisa berpikir lebih objektif. Sengaja menjauh dulu, sampai entar pas mau kondangan."
"Berarti udah mau dua minggu dong? And masalahnya, tetep aja lo kepo, kan?"
"Nah, itu dia. Lo jangan lupa doain juga dong!"
"Nggak usah disuruh kali. Udah, ah, gue mau kerja lagi. Assalamu'alaikum."
Sambungan telpon terputus. Brian menghela napas panjang. Dulu, ketika dirinya masih kerja sebagai pramugara dan mendapat jadwal terbang berhari-hari, rasa kangennya tidak begini-begini amat. "Sekarang, kenapa sampai bikin sakit kepala gini, sih?" gumamnya.
"Apa yang bikin sakit kepala, Pak?" tanya Rafa tiba-tiba.
"Astaghfirullah ... Fa! Bikin kaget aja kamu!" Brian terperanjat. "Saya bilang, kalau masuk ketuk dulu!"
"Yah, Bapak ... udah dari tadi saya ketuk, tapi nggak ada jawaban. Makanya saya masuk, khawatir Pak Bri kenapa-kenapa. Eh, tahunya malah sedang melamun." Rafa nyerocos seperti biasa.
"Udah, udah ... kenapa nyariin saya?" tanya Brian sedikit ketus.
"Itu, katanya di lobi ada yang nyariin Pak Bri."
Brian menyipitkan mata. "Siapa? Kamu udah cek?"
"Belum. Saya cek sekarang, Pak?"
"Besok!" sentak Brian. "Pakai nanya segala!"
Rafa cengar-cengir, lalu bergegas keluar dari ruangan Brian menuju lobi. Betapa terkejutnya dia saat melihat siapa yang sedang berdiri dekat meja resepsionis.
Sang asisten segera mengirimkan pesan pada bosnya.
Rafa:
[ Ternyata yang nyanyiin Pak Bri itu, Mbak Iccha. ]
[ Gimana, Pak. Kalau saya samperin malah tambah ketahuan. ]
Wajah Brian langsung tegang. Tangannya mengepal kuat dan giginya gemeretak saling beradu.
My Bos:
[ Kamu naik lagi aja! ]
[ Suruh satpam usir dia.]
[ Bilangin di sini nggak ada yang namanya Brian. ]
Rafa mengendap-endap guna menemui satpam, begitu membaca pesan dari bosnya. Kemudian, dia kembali ke ruangan Brian.
"Jadi, sebenarnya siapa perempuan itu, Pak? Tempo hari ditolongin, hari ini malah diusir."
Brian menghembuskan napas dengan keras. "Tempo hari karena saya dimintain tolong. Hari ini dia di usir karena udah lancang datang ke kantor saya!" geramnya. "Dia mantan saya, Fa."
"Hah? Jadi, Pak Bri pernah punya kekasih?"
"Cukup, ya, Fa ... saya nggak mau bahas dia lagi. Itu masa lalu. Saya nggak mau merusak masa depan dengan terlibat lagi sama dia." Brian menegaskan kalimatnya.
Meskipun asistennya itu terkadang kepo tingkat tinggi, tapi kalau sudah diberikan instruksi akan menurutinya tanpa bantahan. Ini salah satu kelebihan Rafa yang disukai Brian.