Setelah obrolan malam itu, Brian dan Brisa memutuskan untuk melangsungkan akad nikah dulu. Sedangkan untuk resepsinya akan direncanakan setelah penikahan Biantara.
"Wuih, apa ini maksudnya? Main salip aja!" Biantara protes saat Brian menyampaikan niatnya menikahi Brisa beberapa hari sebelum dirinya menikah.
"Yah, gimana lagi, Bro ... kalau calonnya udah ada, kenapa harus dilama-lamain? Gue nggak mau mengulang kebodohan yang sama. Berlama-lama menjalin hubungan dengan lawan jenis tanpa arah yang jelas. Jangan sampai jatuh ke lubang yang sama," dalihnya.
Biantara mengacungkan jempolnya. "Eh, entar kalau kalian udah nikah, pindah depan situ aja!"
"Depan mana?" Brian menautkan kedua alisnya.
"Ini, depan unit apartemen gue. Dulu tempatnya Alvin, sekarang kosong. Lo isi aja. Biar entar bini gue punya tetangga yang sefrekuensi. Kan, katanya mereka seangkatan pas kuliah."
"Wuih, berapa duit, tuh ... kayaknya gue belum sanggup beli di sini. Satu lantainya aja cuma ada 4 unit," tolak Brian.
"Ck, nggak usah mikirin soal itu. Cincailah sama gue. Yang penting lo berdua mau tinggal di situ, gue udah seneng banget." Biantara mengucapkan itu dengan serius.
"Masyaallah, rezeki macam apa ini? Punya sobat kaya, pinter, sholih, baik pula. Eh, last but not least, kata cewek-cewek di luaran sana, lo tuh ganteng. Apa lagi kurangnya, coba?" sanjung Brian.
"Ya, itu kurangnya, gue nggak punya temen. Makanya lo temenin di sini." Biantara menimpali.
Brian menghela napas, menatap sahabatnya yang sekarang duduk di hadapan. "Thanks, Bro... mau terima gue jadi sahabat lo. It means a lot to me."
Biantara tersenyum. "Alhamdulillah, gue juga bersyukur untuk itu. Selamat buat pernikahan lo. Tinggal ngitung hari, ya? Tapi sorry banget, nanti gue nggak bisa hadir karena barengan acaranya sama pengajian jelang pernikahan di rumah gue."
"It's okay, Man! Santai aja ... gue ngerti, kok. Ini, gue aja masih rasa-rasa percaya nggak percaya. Niatnya cuma mau ngenalin dulu ke Ibu. Eh, pas bilang pengin langsung nikahin dia, malah diiyain. Ya udah, gaslah. Tunggu apa lagi, iya, kan?"
"Bener itu, kalau udah siap mau nunggu apa lagi. Godaannya terlalu besar, Bro ... lama-lama jalin hubungan tanpa ikatan resmi," tanggap Biantara. "Tapi gue salut juga sama lo, enam tahun jalin hubungan, bisa tetap jaga diri."
Brian menundukkan kepalanya. "Gue harus bersyukur, sih ... dulu, dikasih kerjaan yang mobile. Terus pindah-pindah kota sehingga gue jadi jarang ada waktu untuk berduaan. Udah gitu, Aiko selalu ngintilin jadi satpam. Walaupun ada, sih, peluk-peluk tipis, sun kening. Astaghfirullah ... malu gue sama Allah." Brian mengusap wajah seraya menghela napas.
"Yang penting sekarang, lo menyadari kesalahan, minta ampun, berjanji tidak akan mengulanginya lagi, dan mengiringinya dengan banyak melakukan kebaikan." Biantara langsung mode bijak menanggapi curhatan sahabatnya ini. "Allah lebih mencintai air mata orang yang bertaubat dibandingkan orang yang merasa udah baik."
Brian tersenyum. "Ini, nih, rezeki besar buat gue. Allah hadirkan lo di saat hidup gue gak baik-baik aja."
Biantara ikut tersenyum. "Masyaallah. Semoga kita bisa terus saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran."
Brian mengaminkan ucapan sahabatnya ini. Selanjutnya, dia berpamitan karena masih harus mengurus kelengkapan berkas-berkas pernikahana ke aparat kelurahan, sebelum mendaftarkannya ke kantor KUA setempat.
Sebelum sampai di hari pernikahannya, Bu Indira meminta Brian untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Iccha. Akhirnya, mereka mengundang wanita beranak satu itu untuk datang ke rumah.
Iccha begitu senang ketika dihubungi Bu Indira bahwa Brian ingin bertemu dengannya. Perempuan ini langsung berdandan secantik dan menarik mungkin agar bisa merebut perhatian sang mantan. Dulu, lelaki itu begitu tergila-gila padanya hingga apapun yang diminta akan selalu dipenuhi.
Tak sia-sia langkahnya mendekati Bu Indira karena hasilnya mendekati sempurna. Dia pun membayangkan kehidupannya akan kembali ke setelan awal, cukup rebahan semua bisa terpenuhi. Dia juga berpikir, bisa memanfaatkan Bu Indira untuk mengasuh Aina karena terlihat begitu menyukai buah hatinya itu.
Bu Indira tetap ramah menyambut kedatangan Iccha di rumahnya. "Aina nggak dibawa, Cha?'
"Iya, dititip ke tetangga. Kasihan kalau dibawa-bawa," jawabnya beralasan, padahal hanya ingin lebih bebas saja.
"Oh, ya, sudah ... duduk, Cha!"
Setelah mempersilakan duduk di ruang tamu, Bu Indira masuk ke dalam untuk memanggil Brian. Saat itu, Aiko tidak ada di rumah karena sedang mengantar Brisa mengurus kebutuhannya untuk acara akad nikah nanti.