"Kenapa Sayang?" tanya Brian dengan kepala menengadah karena sang istri berdiri di sampingnya.
Brisa membungkukkan badannya, membisikkan sesuatu pada Brian. Lelaki itu senyum-senyum sendiri saat menyimak ucapannya. Selama istrinya berbisik, tangan kiri Brian asyik memerangi pipi bidadarinya itu.
"Ya, udah nggak apa-apa. Bebas aja, terserah Mbak Lastri," ucap Brian kala Brisa sudah kembali menegakkan tubuhnya.
"Makasih, Mas Ian." Brisa tersenyum menggemaskan seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta. Kemudian, dia pun berlalu meninggalkan Brian dan Rafa.
"Bahagia banget nikah, ya, Pak?" celetuk Rafa sambil mesem-mesem.
"Banget, Fa ... tapi dengan catatan, menikahnya dengan orang yang tepat."
"Nah, itu dia, Pak ... bagaimana cara tahunya dia yang tepat atau bukan?"
"Kalau dari pengalaman saya yang juga pernah gagal, kunci menemukan orang yang tepat itu, sekufu Fa. Terutama sekufu dalam hal tujuan pernikahan, visi misi yang mau dikejar, dan memiliki semangat yang sama untuk saling mencahayakan."
Rafa terlihat sedang berpikir keras. "Hmm, maksud saling mencahayakan itu seperti apa, ya?"
"Ini versi saya aja, ya, Fa ... berdasarkan pemahaman yang saya punya. Saling mencahayakan itu dalam artian ada keinginan untuk saling support di antara pasangan ini agar sama-sama bersinar dengan kelebihannya masing-masing."
Rafa mengangguk-anggukkan kepala. "Meningkatkan value masing-masing, gitu kali, ya, Pak?"
"Nah, iya, itu. Bener banget kamu!" puji Brian. "Satu lagi, semuanya itu harus ada dalam bingkai keimanan kita pada Sang Pencipta, Fa. Baru bisa selamat."
"Wah, makasih pencerahannya, Pak."
"Anytime, Fa. Emang, kamu udah kepikiran nikah?" tanyanya iseng.
Rafa bukannya menjawab malah melihat ke sekeliling. "Belum, sih, Pak. Tapi kalau dianya mau terima, saya bakalan ngebut buat upgrade diri. Salah satunya, ya berguru sama Pak Bri," ucap Rafa saat pandangannya berhenti pada seseorang.
Brian pun mengikuti arah pandang asistennya ini. Dia cukup terkejut karena ternyata dugaannya selama ini benar. Rafa menyukai Aiko. "Kejarlah kalau gitu, gimana kamu tahu kalau diem aja?"
Rafa kaget saat tahu kalau bosnya itu berbicara sambil memandang ke arah yang sama dengannya. "Wah, apa, nih, maksudnya? Lampu hijau, Pak?" Hati sang asisten langsung berbunga-bunga.
"Coba aja, yang jelas dia nggak akan mau kalau tujuan kamu cuma nyari pacar. Dia lebih strict dari saya."
"Siap, Pak! Saya jadi semangat, nih."
Brian hanya senyum-senyum mendengar pengakuan asistennya itu.
Sekitar jam setengah tiga sore, seluruh tamu baru benar-benar pulang. Brian melepaskan jas yang dia kenakan, lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Kepalanya bersandar pada pinggiran sofa. Mata dia terpejam dengan sebelah tangan menutupi sebagian wajahnya, yang terlihat hanya tinggal bibir dan separuh hidung.
Saat mengetahui Brian tertidur di sofa, Brisa sengaja tidak membangunkannya. Dia melihat raut kelelahan tergambar jelas dari wajah sang suami.
Sampai beberapa waktu kemudian, gadis bermata hazel ini kembali menghampiri. Dia berjongkok di samping kepala suaminya.
"Mas ...." panggilnya pelan sambil menyentuh lengan sang suami.
Sentuhan itu membuatnya terjaga. Perlahan dia membuka mata, lalu mengangkat tangan yang sejak tadi menutupi wajahnya. Begitu melihat ke samping, ada seseorang yang sedang tersenyum menatapnya.
"Hai ...." sapanya dengan suara berat. Tangannya yang barusan terangkat langsung meluncur ke pipi mulus sang istri. "Maaf, ya ... aku ketiduran"
"Capek, ya?" Brisa malah balik bertanya.
Brian tersenyum sambil mengeluarkan desis dari hidung. "Lumayan ...."
"Udah adzan ashar, Mas mau salat ke mesjid atau di rumah aja?"
"Kayaknya nggak keburu kalau ke mesjid. Pengin mandi dulu, badan rasanya lengket banget."
"Oh, ya, udah ... aku siapin dulu baju gantinya."
Brisa bersiap untuk bangkit, tapi tangannya di tahan oleh Brian. Lelaki ini mengangkat sedikit badannya, bertumpu pada siku tangannya. Dia pun melayangkan kecupan singkat di pipi istrinya.
Pupil mata Brisa membesar, jantungnya berdebar-debar. Pipinya terasa hangat. Untuk sesaat dia membeku.