Forget Me Not

Reni Haerani Supriadi
Chapter #37

Ke Paris

Brian menggeleng saat mendapat pertanyaan dari Aiko. "Rasanya nggak ada. Gue nggak pernah bermasalah dengan orang lain kecuali Iccha."

"Ya udah, kita tunggu hasil penyelidikan dari polisi. Sementara lo, fokus aja pada kesembuhan Brisa. Masalah ini biar jadi urusan gue. Alhamdulillah, Mas Bian sama Mas Rafa mau bantuin juga," pungkas Aiko menyemangati sang kakak.

Brian mengangguk. Dia pun kembali ke ruang perawatan, sedangkan Aiko langsung berangkat ke kantor Biantara. Gadis ini sudah sepakat untuk meneruskan pembahasan hal tersebut di sana.

Dari hasil penyelidikan itu, Iccha terancam hukuman penjara selama 20 tahun karena bukti-bukti cukup kuat. Dia melakukan perencanaan penganiayaan terhadap Brisa yang beresiko menyebabkan kematian.

Perempuan beranak satu itu pun meminta agar Brian mau menyelesaikan ini secara kekeluargaan. Dia tidak sanggup harus berpisah dengan putri semata wayangnya.

"Iya, memang, kalau melihat Aina, Ibu pun tak tega. Dia nggak salah apapun harus ikut menanggung perbuatan buruk ibunya," cetus Bu Indira saat mengetahui ancaman hukuman untuk Iccha.

"Biar dia bisa berpikir lebih dewasa, Bu ... hidup itu memang harus berani mengambil resiko atas pilihan kita. Jangan mau enaknya aja! Giliran ketahuan salah, malah nggak mau menanggung akibatnya," lontar Brian bersungut-sungut.

Bu Indira terdiam. Bagaimanapun apa yang disampaikan putranya itu benar. Apalagi, yang menjadi korban kecerobohan Iccha itu menantunya sendiri. Mereka meminta pihak kepolisian untuk membawa Aina ke tempat neneknya di kampung selama Iccha menjalani proses hukumnya. Meski begitu, keluarga Brian masih mau memberikan bantuan berupa materi untuk biaya hidup Aina.

"Kurang baik apa coba, Kak Ian pada Iccha? Emang dia itu perempuan yang nggak tahu caranya bersyukur," cibir Aiko ketus.

Sang adik sebetulnya sudah muak pada Iccha. Dia juga capek harus bolak-balik ke kantor polisi menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Namun, demi kelancaran jalannya proses penyelidikan, dirinya harus tetap bersabar melakukan itu semua.

Setelah hampir satu bulan dirawat, Brisa mulai menunjukkan tanda-tanda kesembuhannya. Dia tersadar dari koma dan hasil pemeriksaan pun menyatakan bahwa semua fungsi organ tubuhnya dapat bekerja dengan baik seperti sedia kala. 

Betapa bersyukurnya Brian mendengar kabar tersebut. Dia kini bisa kembali tersenyum lebar, meskipun sang istri masih harus melakukan beberapa fisioterapi untuk melenturkan sendi-sendi yang sudah lama tidak digerakkan.

"Makasih ya, Mas ... kamu selalu ada buat aku," ucap Brisa dengan mata berkaca-kaca.

"Lelaki ini menggeleng. " Aku yang makasih karena kamu mau berjuang untuk sembuh," sahut Brian seraya mengusap lembut pipi sang istri.

Brisa menyapukan pandangan ke seisi ruangan dan berhenti pada pot bunga kecil di sebelah tempat tidurnya. "Jadi, aku koma selama sebulan?" tanyanya dengan bibir tersenyum menantap bunga favoritnya itu.

Brian mengangguk pelan. "Iya, kamu di sini udah sebulan lebih." 

"Kamu tahu, Mas ... selama itu, aku ngerasanya kayak lagi tidur aja. Mimpi ngobrol sama Mas karena suaramu itu terus nemenin aku di sini," ungkap Brisa. Dia memandang haru pada suaminya. "Bahkan, aku ingat kamu cerita soal beli bunga itu," tunjuknya pada pot berisi bunga favoritnya.

"Oh, ya? Alhamdulillah, seneng banget dengernya. Sebelum ini, aku ngerasa nggak bisa berbuat apa-apa untuk bantu kamu biar cepet sembuh." Brian tertunduk.

Brisa mengusap lembut kepala sang suami. "Aku sangat bersyukur masih diberi kesempatan buat dampingin hidup kamu, Mas. Jadi, jangan sedih-sedih lagi, ya," hiburnya. "Oh, iya, kalau Aiko gimana keadaannya?"

"Aiko, alhamdulillah sehat walafiat. Sekarang, dia masih kerja. Mungkin, nanti sepulang kerja ke sini sama Ibu."

"Aah, jadi nggak sabar ketemu mereka, aku udah kangen banget," ucapnya antusias. "Eh, ngomongin kerja, Mas sendiri nggak kerja?" tanya Brisa karena baru menyadari suaminya ada di sana, padahal ini hari kerja.

"Aku cuti," jawab Brian singkat.

Sang istri mengerutkan kening mendengar jawabannya. Dia tahu, cuti suaminya untuk tahun ini sudah dihabiskan saat menjelang pernikahan.

"Udah, nggak usah mikirin soal ini, semuanya baik-baik aja, kok. Sekarang, lebih baik kamu fokus untuk pemulihan tubuhmu yang udah lama nggak digerakin." Brian mengalihkan topik pembicaraan.

Hari-hari terus berlalu, kesehatan Brisa semakin membaik. Perawatan selanjutnya, cukup dilakukan berobat jalan. Kini, Brisa sudah kembali ke rumah Bu Indira.

"Sayang, aku kangen banget sama kamu?" ucap Brian yang kini sedang berbaring di samping istrinya.

"Kamu itu, Mas ... hampir setiap saat kita bersama, masih aja ngomong kangen," sahut Brisa sembari memiringkan tubuhnya menghadap sang suami.

Brian ikut mengubah posisi tidurnya. Kini keduanya saling berhadapan, saling menatap manik matanya masing-masing, menyelami kedalaman rasa yang terpendam selama ini. 

"Bukan kangen yang itu?" bisik Brian yang perlahan mendekatkan wajahnya, mengikis jarak di antara mereka. 

Aroma khas sang istri mulai menguasai indera penciumannya. Sambil tersenyum, sedikit ragu tangan Brian perlahan menyentuh lembut pipi gadis bermata hazel ini. Kemudian, dia bergerak menyisir sehelai rambut di belakang telinganya hingga membuat bulu kuduk Brisa merinding. Detak jantung keduanya pun kini berlomba saling berkejaran.

Saat wajah Brian kian mendekat, seakan waktu bergerak melambat. Napas keduanya bercampur dalam udara kamar yang dingin. Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, awalnya terasa ragu-ragu. Namun saat eksplorasi lembut yang semakin dalam, dunia di sekitar seakan memudar, mereka saling melebur menyisakan kehangatan cinta dan sensasi rasa yang telah lama dinantikan.

Bahasa cinta yang satu ini bukan lagi sekedar mimpi, sekarang sudah menjadi bagian dari perjalanan mereka untuk membuktikan janji suci pernikahan. Brian berharap cinta mereka akan selalu dipupuk agar terus tumbuh subur, bertahan melewati waktu dan beragam badai ujian di masa yang akan datang.

Lihat selengkapnya