Kiky Anandita
Saat kamu tak pernah melihatku. Lalu bagaimana kau bisa tau kalau aku hancur?. Ketidak beradayaan memang racun yang mematikan. Aku hancur karena kamu yang tak berdaya darinya.
-------------------
Aku memang sudah menduga kalau hari ini akan hujan dan karena itulah aku sudah bersiap untuk membawa payung. Ternyata mengendarai sepeda di tengah hujan dengan payung merupakan hal yang sangat merepotkan, rasanya seperti aku akan terbang terbawa angin, terlebih lagi hujan kali ini sangat deras sekali. Keadaan yang semakin gelap, karena malam yang akan segera datang, membuat jarak tatap sedikit menyulitkan. Kaki bagian bawah ku sudah dapat dipastikan basah karena hujan, keputusan yang salah untuk membawa sepeda hari ini, meskipun aku tau hujan akan turun dan mempersipakannya.
Sepedaku terus berkelok ke kanan dan ke kiri karena aku hanya mengendalikan kemudi dengan tangan kanan saja, sedangkan tangan kiriku fokus memegang payung yang bersemangat ingin pergi, kabur bersama angin. Aku menghabiskan waktu hampir dua kali lipat dari kampus ke apartemen. Setelah aku memarkirkan sepeda aku segera berlari menuju lift besmen, dingin menyebar merasuk ke kulitku karena pakaian ku yang basah. Aku harus segera mandi air hangat, membuat minuman hangat lalu pergi tidur, masa bodoh dengan tugas, aku benar-benar ingin istirahat. Aku keluar dari lift, berjalan di lorong, saat itulah aku hampir berteriak tetapi untungnya aku tanpa sadar menutup mulutku dengan tangan. Aku melihat ke arah pintu apartemen dan aku sudah menyakinkan berkali-kali bahwa pintu ini bernomor 607, ini merupakan pintu apartemenku. Di depan pintu apartemenku terlihat seseorang dengan pakaian basah sedang duduk dengan kepala tertunduk dan tertutup tudung jaket. Apa dia mabuk dan tertidur di depan apartemen ku?. Ragu-ragu, aku mencoba mendekat untuk mengecek keadaan orang itu. Aku berjalan lambat ke arahnya, berharap tidak membangunkan dia. Tidak tercium bau alkohol, aku semakin bingung kenapa dia bisa tertidur di depan pintu apartemenku.
"Permisi," kataku, suaraku hanya sedikit lebih kuat daripada bisikan.
Dia bergeming, bergerak tak nyaman di bawah kakiku. Aku segera duduk menyesuaikan diriku agar bisa melihat dia. Mataku terbuka lebar mengikuti mulutku, tetapi aku justru terpaku kehilangan semua kata yang ada dalam pikiranku. Jatungku berdegup kencang, kepanikan menguasai tubuh dan pikiranku. Aku terus memandangi wajahnya untuk menyakinkan diriku sendiri kalau orang ini benar-benar kak Edwin.
Kak Edwin?!!!! Apa yang terjadi dengannya?.
Aku mencari-cari smartphone ku, tanganku gemetar, pikiranku kacau. Aku harus menghubungi ambulan, secepatnya, sebelum keadaan semakin kacau.
"Dingin," kak Edwin berkata lirih hampir seperti bisikan yang tak terdengar.
"Iya kak, sebentar aku telepon ambulans," aku bahkan bisa merasakan kegerian dalam suaraku.
Tanganku semakin bergetar tak karuan karena aku tak kunjung menemukan smartphone yang kucari-cari. Tangan dingin kak Edwin menggenggam pergelangan tangaku lemah, kekuatannya hampir hilang.
"Aku benci rumah sakit, aku hanya kedinginan," kak Edwin sekarang mendongak dan menatap mataku. "Kumohon jangan pernah membawaku ke rumah sakit."