Edwin Harlana
Kamu tak akan pernah benar-benar tau masa lalu seseorang. Semua dapat menjadi sangat berbeda dari yang kamu pikirkan tentang dia.
*
Aku masih enggan beranjak dari tempat tidurku, meskipun sinar matahari sudah menampakkan diri dan menyentuh lembut kulit pipiku hingga menyilaukan mata. Ku tatap jam dinding yang tergantung di tembok, sudah menunjukkan jam sembilan pagi. Seharusnya aku berlari pagi tetapi hari ini semangatku sedang menghilang entah kemana. Aku duduk diam di atas kasur memandang tembok kamar tidurku.
Aku patah hati. Ya, sepertinya memang aku sedang patah hati. Rena masih marah padaku dan dia sebenarnya sedang berusaha melupakan aku. Dia sedang dekat dengan orang lain. Kemarin saat kita sedang bertemu, dia mengakuinya sendiri. Aku tau aku yang salah, tetapi tetap saja aku tak bisa menerima ini. Aku memang lelaki brengsek, aku akui itu. Sekarang pun Rena sedang sibuk karena dia menjadi panitia di acara kampus. Dia tidak bisa bertemu denganku dan aku tak tau harus melakukan apa di hari minggu sialan ini. Bahkan Reyhan teman terbaikku sedang sibuk kencan dan menolak ajakan ku. Yah teman memang akan dilupakan saat sudah ada pacar.
Akhirnya setelah sekitar lima belas menit aku puas memandangi tembok, aku memutuskan beranjak dari tempat tidurku. Aku menuju kamar mandi dan mencuci mukaku. Aku melihat mukaku di cermin dan melihat kekacauan. Mukaku tampak kacau sebaiknya aku segera mandi, aku pun mandi. Setelah mandi aku duduk di tepi kasurku lagi, bingung dengan apa yang harus ku lakukan. Perutku berbunyi dan aku kelaparan. Baiklah sepertinya aku harus pergi menyenangkan perutku ini. Aku berdiri mematung di depan lift menunggu lift terbuka. Saat lift terbuka aku melihat adik nya Kiky dan seorang lelaki membawa banyak sekali barang belanjaan.
“Kak... Ed..win?” Dicky melihatku sedikit kaget, mungkin karena penampilanku yang kacau ini.
“Eh... Dicky kan ya? Adiknya Kiky?”
“Iya kak. Kakak mau kemana?”
“Aku mau pergi keluar cari makan sebentar”
“Ah... kenapa nggak gabung aja sama kita kak. Kita mau pesta, nih aku sudah beli banyak bahan makanan” Dicky tersenyum girang menunjukkan deretan gigi putihnya.
“Sebenarnya aku tidak keberatan untuk ikut tapi saat ini kan kamu bersama temanmu?”
“Ah.. nggak ada masalah sama sekali bro. Semakin rame malah semakin bagus” Teman Dicky yang aku belum tau namanya ini langsung menyahut.
“Iya kak. Lagian hari ini kakakku nggak ada. Dia sepertinya pulang ke rumah jadi kita bisa pesta khusus para lelaki. Main game, nonton film sama makan-makan dari pagi sampai malam. Gimana? Kalau kakak nggak ada rencana sih?”
Mungkin inilah yang dinamakan oasis ditengah gurun pasir. Dan tentu saja aku tidak akan menolaknya. Aku bukan manusia bodoh.
“Oke, aku ikut”
Kita akhirnya masuk ke apatemen Dicky karena kita berada di satu lingkungan apartemen jadi keadaannya tidak terlalu jauh dari apartemen milikku.
“Kenalin aku Rendy”. Teman Dicky yang menyebut dirinya Rendy menepuk pundakku dan tersenyum.
“Edwin”
Rendy langsung pergi ke kounter dapur dan memakai apron seperti bersiap untuk memasak.
“Kamu bisa memasak?”
“Dia ini seorang koki, jadi masakannya tidak usah diragukan lagi” Dicky langsung menyahut dari belakangku.