Kiky Anandita
Mungkin kita pernah salah paham. Bahwa rasa nyaman yang ku pikir ini perasaan cinta ternyata hanyalah angan-agan. Aku pernah menjadi semu, percaya pada sesuatu yang ingin ku percayai, bukan pada kenyataan.
*
Kepulan asap daging panggang tampaknya tetap tak mampu untuk membuyarkan pikiranku. Padahal aku selalu lemah di depan makanan. Aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri untuk terus melirik ke arah kak Edwin. Perasaan cemas menggulung perut ku, membuatku bahkan tak berselera makan meskipun bau daging panggang sedang menyeruak. Benar. Keadaan lah yang sebenarnya bersalah, karena kita tak bisa memilih untuk jatuh cinta dengan siapa dan kita juga tak bisa menentukan kapan akan siap untuk jatuh cinta.
Aku sungguh menyedihkan. Ada sekitar seratus lebih alasan yang mengharuskan aku untuk tidak jatuh cinta tetapi bahkan aku tidak membutuhkan satupun alasan untuk jatuh cinta pada kak Edwin. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku normal jika bersikap seperti ini?. Kenapa hanya dari satu pertemuan dan satu senyuman aku bisa menjadi seperti ini. Aku sudah mencari tau tentang semua ini, tentu saja aku mencarinya di google karena aku tidak tau harus bercerita kepada siapa. Kalau aku bercerita kepada Lina, dia pasti hanya akan memberikan petuah yang memekakan telinga. Dari informasi yang telah aku dapat, aku menyimpulkan bahwa perasaan ini disebut dengan cinta pada pandangan pertama. Perasaan ini akan dengan cepat menghilang dengan sendirinya. Dari sinilah aku merasa lega tetapi kalau keadaan mengharuskan aku untuk sering bertemu dengan dia, apakah benar perasaan ini akan menghilang dengan cepat?.
“Udah jangan dilirik terus, bisa berlubang nanti dia.” Kak Rendy tertawa kecil menggoda ku.
“Isshh! Sok tau banget.” Aku menjawab dengan nada sedikit jengkel.
“Bukan sok tau tapi tadi Dicky udah kasih tau ke aku” Kak Rendy langsung menampakkan senyum sumringah.
Aku megap-megap kehilangan kata-kata dan hampir kehabisan nafas. Segera aku melayangkan tatapan membunuh ke arah Dicky dan bersiap melempar capit makanan yang ku genggam ke arahnya. Kak Rendy segera menggenggam pergelangan tanganku dengan erat, menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Ya!! Kita nggak cuma bertiga disini!.” Kak Rendy terus menatapku dan enggan melepaskan gengagaman tangannya.
Aku merasa semua kekuatanku menghilang bersama asap daging panggang yang diterpa angin. Aku langsung duduk dan mengatur nafas. Aku tak habis pikir Dicky bisa menjadi lebih menyebalkan, kesabaranku terhadapnya seakan telah menghilang.
“Kamu kenapa kak?” Dicky bertanya padaku dengan santai.
Aku tersenyum terpaksa sebagai tanggapan, mencoba menahan amarahku. Setelah daging panggang matang, kak Rendy menata beberapa makanan dan minuman di meja. Kita segera duduk bersila mengelilingi meja, kita sengaja memilih meja pendek agar bisa duduk di bawah tanpa kursi. Untung saja pemandangan dari makanan dan minuman yang tertata rapi di depanku ini, sedikit mampu membuat aku bersemangat kembali.
“Supaya suasana bisa lebih menyenangkan. Gimana kalau kita main truth or dare?.” Dicky berkata dengan semangat menggebu seakan dia sudah menanti saat ini.
Sebelum aku akan mengeluarkan kata penolakan, Kak Edwin sudah mendahuluiku dengan berkata “Wah iya.... seru juga kayaknya.”
Sial. Mungkin saat ini semesta memang sedang tidak berpihak padaku. Aku terus memandang ke arah botol kosong yang berada di tengah meja, seakan aku sedang berusaha untuk menghipnotis botol tersebut agar tidak berhenti tepat di arahku. Botol yang berputar pun semakin melambat, dan akhirnya berhenti tepat di arah Kak Rendy. Aku seperti bisa bernafas untuk sekarang ini.
“Truth” Kak Rendy berkata sedikit pasrah.
“Aku yang mau bertanya.” Kak Edwin segara mengajukan diri untuk bertanya pada Kak Rendy. “Kenapa kamu putus dengan Kiky? Karena interaksi di antara kalian sedikit aneh untuk pasangan yang sudah putus.”