Bapak bilang, aku enggak pernah bisa menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. Tiap mengerjakan PR, main puzzle, atau memasang stiker di dinding saja, seringkali aku akhiri dengan amukan karena kesal. Tak kunjung menemukan titik terang untuk mengakhiri masalah itu.
Ibu bilang, aku memang masih memiliki emosi yang sangat tidak stabil. Masih seperti anak balita, padahal umurku sudah sembilan tahun. Ibu yang selalu membantu kalau aku sudah hampir mengamuk. Berkat ibu, semua PR yang sulit itu rasanya jadi sangat mudah. Puzzle pun gampang. Masang stiker jadi sangat rapi.
Iya, mereka bilang aku selalu perlu bantuan ibu untuk mengerjakan tugas-tugas remeh sekalipun. Tapi apa sekarang aku boleh berbangga diri dulu?
Lihatlah! Aku berhasil memasang mainan gantung dengan empat ekor kuda poni ini di atas box bayi, tanpa bantuan siapa pun! Padahal rangkaiannya menurutku cukup rumit. Aku memutar-mutar mainan itu, sambil tersenyum-senyum senang. Tidak ada bantuan ibu sama sekali. Tapi kali ini, aku akan mengucapkan terima kasih pada si calon adik kecil. Kebahagiaan membuncahi hari-hariku sejak kemunculan janinnya di dalam perut ibu. Aku jadi lebih sering menyelesaikan tugas tersulit sekalipun seorang diri. Menikmati hal-hal yang biasanya membuat moodku jelek itu dengan baik. Sejauh yang aku ingat, enggak pernah ada lagi tuh kata ‘kesal’, ‘marah’, ataupun ‘benci’ di dalam kamusku. Karena memang sebegitu inginnya aku mempunyai adik. Ingin sekali rasanya seperti teman-temanku yang lain, yang saat berada di rumah mereka masih memiliki teman untuk bermain.
Lamunanku terhenti begitu sesuatu mengetuk-ngetuk kaca jendela. Reflek mataku teralihkan dari mainan gantung ini, ke arah di mana asal suara berada. Ternyata hanya ranting pohon. Angin kencang memaksanya bergerak menyapaku. Oh, sepertinya hendak memberitahu bahwa saat ini sedang turun salju! Sama sekali tidak terasa perubahan suhu yang drastis karena adanya penghangat ruangan di dalam rumah.
Aku berjalan sambil melompat-lompat riang ke sana, ke jendela. Tangan bertopang dagu demi menikmati pemandangan indah ini. Sudah enam tahun aku berada di Jepang. Tokyo lebih tepatnya. Namun, setiap kali salju mengguyuri dataran ini, aku tak pernah bosan mengagumi keindahannya. Butiran-butiran putih melayang turun dari atap jendela. Jatuh ke bawah sana, menghinggapi rerumputan hijau pada halaman rumah.
Aku memandang jauh ke tempat lain. Dua anak berjongkok di taman. Mengawasi tiap butiran salju yang jatuh di hadapan mereka. Aku jadi penasaran, apa yang ingin dilakukan keduanya, ya? Setelah salju itu cukup menumpuk, mereka mulai beraksi. Membuat dua bola kecil. Menyusunnya menjadi boneka. Tapi kemudian jatuh berceceran dan salah satu di antara mereka merengek-rengek.
Senyumku terkulum melihat situasi ini. Jika nanti adik sudah lahir, apa aku masih akan bersikap seperti itu? Dipikir-pikir pasti malu sekali kalau memiliki sifat cengeng yang sama dengan adik. Masa iya, sih, saingan sama anak kecil.
Semoga saja tidak. Beberapa hari ini saja aku sudah berhasil membuktikan bahwa aku bisa bersikap mandiri dan lebih dewasa meski sedikit.
[Seorang kakak itu harusnya bisa memberikan contoh yang baik. Kalau adiknya salah, kakak harus memberitahukan yang benar. Bukan malah menyalah-nyalahkan adiknya!]