Apa sebelumnya aku pernah bilang bahwa semenjak ibu hamil, aku selalu merasa senang?
Kalau belum, maka sekarang ini aku lebih merasa senang lagi, karena ini hari libur! Rencananya, sih, aku mau main sepuasnya sepanjang hari.
Ah, tapi tunggu dulu. Terlalu cepat berpikir begitu enggak baik juga. Sekarang, ‘kan, salju sudah turun. Artinya suhu Tokyo sudah mendekati nol derajat celcius. Atau justru sudah di bawah nol, ya? Biasanya bapak dan ibu enggak bakalan ngebiarin aku berlama-lama di luar rumah di musim bersalju begini. Kalau tahun lalu, aku bermain di rumah Miyoko—anak tetangga sebelah—sampai jam satu siang. Tepat jam satu, enggak kurang atau lebih, bapak pasti datang jemput aku.
Kalau sekarang, sih, enggak tahu, ya. Kayaknya bapak akan disibukkan dengan keluhan ibu yang sedang mengandung adik. Mabuk dan muntah-muntahlah, mendadak mau dibelikan sesuatulah …. Jadi aku pikir bapak enggak akan menjemput lagi walaupun tadi sudah berpesan padaku, “Jam satu nanti bapak akan datang ke rumah Miyoko-chan buat jemput Kakak. Kayak biasa, ya. Jadi pastikan mainnya sudah tuntas sebelum bapak datang, supaya enggak ada kata ‘bersambung’ yang bikin orang-orang penasaran.” Beliau bilang begitu sambil mengedipkan sebelah mata dan tersenyum jahil. Aku sendiri enggak begitu ngerti maksudnya apa. Jadi kubalas saja dengan kerjapan mata beberapa kali.
Kalau sampai nanti bapak enggak datang, aku akan tetap bermain di rumah Miyoko sampai puas, meski sudah lewat dari jam satu. Hihi. Tak apa dong sekali-kali jadi anak nakal. Lagipula mamanya Miyoko enggak keberatan kalau aku ada di sana sampai malam sekalipun.
Aku bersenandung riang di bawah hunjaman rintik salju. Dibekali mantel super tebal, sarung tangan super hangat, serta kupluk berbulu, tak ada rasa dingin sama sekali menggerayangi tubuhku. Salju-salju ini tidak turun dengan lebat. Seperti gerimis kecil yang kadang-kadang aku nikmati sore-sore di kampung halaman.
Sebentar lagi sampai di rumah Miyoko. Kata bapak, jarak antar rumah di komplek ini sekitar dua puluh meter. Banyak yang manfaatin lahan itu untuk dibuat kebun atau taman kecil seperti yang menjadi pemisah antara rumahku dengan rumah Miyoko. Ada tiga pohon besar, ayunan, juga sedikit wahana permainan lainnya yang biasa tersedia di taman khusus anak-anak.
Miyoko sudah terlihat dalam jarak pandangku. Kebetulan dia ada di depan rumah, sedang bermain dengan adiknya. Semenjak punya adik, Miyoko jadi jarang main sama aku. Di hari libur juga begitu. Dia sibuk sekali mengurus Shinjou. Apa nanti aku juga begitu, ya?
“Hora, Miyoko-chan! Nani o shiteru?” [Hei, Miyoko-chan. Kau lagi apa?] Aku memunculkan diri tiba-tiba di depan pagar rumahnya, bermaksud mengagetkan Miyoko.
Sayang sekali dia enggak terlihat kaget sedikit pun. Dia cuma menengok cepat ke arahku, lalu senyuman cerah jadi mimik yang dia tunjukkan ketika melihatku. “Ah, Mei-chan! Kocchi. Isshoni asobou.” [Ah, Mei-chan! Sini. Ayo kita main bersama.] Tangannya melambai-lambai sebagai isyarat supaya aku mendekat.
Orang-orang Jepang selalu memanggilku dengan sebutan “Mei” karena pelafalannya mudah bagi lidah mereka. Kalau orangtua, keluarga, atau kerabat lainnya di Indonesia, biasa memanggilku dengan sebutan “Izra”. Sebenarnya namaku Meizra. Meizra Qorita. Enggak masalah sih mau pakai “Mei” atau “Izra”. Dua-duanya boleh. Dua-duanya ada di nama asliku.