Forgive Me If I Made You Scared, My Lil Sister

Anis Maryani
Chapter #3

bagian pertama| Gambarku ini ... khusus untuk adik

“Itu adikmu?”

Aku mendongak. Harumi-sensei, guru kesenianku, menatap takjub gambar yang sedang kubuat di atas meja. Gambar itu terdiri dari dua orang. Berlatarkan taman bunga, mereka bergandengan tangan sambil tersenyum lebar. Orang pertama kubuat ciri-ciri fisiknya persis seperti diriku. Tubuh kurus tinggi. Rambut tipis pendek sedikit melewati bahu. Sementara yang satunya lagi, tingginya kubuat sampai lutut saja, tubuh gempal serta rambut ikal di atas tengkuk. Entah, aku suka sekali representasi adik kecil yang seperti ini. Kalau jadi kenyataan pasti akan terus kupeluk erat-erat.

“Seratus persen benar, Sensei!” Senyum cerah terkembang di wajahku. “Ibu sedang hamil. Sebentar lagi adikku lahir. Apa Sensei bisa menebak jenis kelamin yang diprediksikan dokter?” Aku amat bergairah memberikan pertanyaan ini. Apalagi melihat wajah Sensei yang kebingungan demi mencari jawaban. Aku menggigit bibir sambil terkikik geli.

“Hmm … kalau dilihat dari senyumnya yang manis ini …” sensei menaruh telunjuk di ilustrasi wajah adikku, “pasti perempuan, ‘kan?”

Tubuhku menegak antusias disertai dengan tepukan tangan. “Sensei hebat!”

Aku masih terus menepuk tangan pelan-pelan untuk mengapresiasi sensei. Pelan-pelan agar tak mengundang perhatian teman-teman lain dan mempertanyakan apa yang sedang kami lakukan. Kemudian aku menyadari sesuatu. Wajah sensei yang tersenyum itu, seperti tersirat ungkapan lain. Ungkapan lebih dari sekadar senang karena telah menjawab tebakan dariku dengan benar.

“Mei-chan pasti senang sekali, ya, memiliki adik?” Aku terpaku menatap Sensei. Meski yang keluar dari bibirnya adalah pertanyaan itu, tapi dengan sabit yang terbentuk tulus di wajahnya, membuatku merasa sensei seolah berkata bahwa dirinya sangat senang melihatku ceria seperti sekarang. Biasanya aku memang sangat pendiam di kelas. Kalau diingat-ingat lagi, sepertinya ini kali pertamaku bersenda-gurau dengan sensei. “Teruslah seperti ini.” Sensei mengelus pelan puncak kepalaku. “Semoga nanti adikmu lahir dalam keadaan sehat, ya.”

Aku masih terpaku. Tanpa berkedip, tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan sampai Harumi-sensei melangkahkan kembali kaki jenjangnya ke depan sana, tempat di mana kursinya berada. Barulah setelah ia duduk dan menekuri semacam jurnal, aku berkedip satu kali. Ucapan sensei terus terngiang sampai aku tak kuasa menahan diri untuk tidak tersenyum-senyum malu. Memang efek dari kemunculan adikku ini luar biasa sekali. Padahal masih di dalam rahim ibu. Bagaimana nanti kalau sudah lahir, ya?

Tahu-tahu saja bel pulang meraung-raung di atas kepalaku. Posisiku yang berada di pojokan kelas, tepat di dekat dinding di mana bel tertempel, membuat gendang telingaku seringkali pekak sampai empat kali dalam sehari—saat masuk, saat istirahat, saat selesai istirahat, dan ketika akan pulang. Meski begitu, aku tidak mau pindah. Tempat ini paling strategis untukku merenung dan berdiam diri.

Aku menengadahkan wajah. Memberikan tatapam sinis pada bel yang masih melengking itu. Kenapa sih waktu cepat sekali berlalu? Padahal aku masih sangat ingin meneruskan gambar ini, menambahkan detail pemandangan seperti air terjun juga hewan-hewan imut di sekitar ilustrasiku bersama sang adik.

Dari depan, sensei mengumumkan agar para murid meneruskan tugas yang belum selesai di rumah. Untuk yang sudah selesai, bisa langsung dikumpulkan. Sebenarnya aku sudah membuat gambar ini semalam. Bahkan walaupun tugasnya baru diberikan hari ini. Sampai larut malam aku membuat ilustrasi diriku bersama adik pada selembar kertas berukuran A3. Makanya aku senang begitu tugas menggambar yang diberikan sekarang adalah objek manusia. Jadi enggak perlu lagi bikin gambar yang baru. Rasanya aku sudah seperti orang-orang pemilik indra keenam saja, ‘kan? Hihi.

Sambil melangkahi ambang pagar sekolah, kudekap gambar itu persis di depan dada. Ayah sedang tidak bisa menjemput karena harus mengantar ibu ke dokter. Untung saja mood baikku masih belum luntur, jadi dengan senang hati aku lalui perjalanan dari sekolah menuju rumah meski jaraknya bisa dibilang cukup jauh.

Senyumku mendadak hilang saat sampai di depan sebuah gang. Beberapa meter dari posisiku berdiri, sekumpulan anak laki-laki berkerumun seolah siap mencegat siapa saja yang lewat. Lima orang anak laki-laki. Dua di antaranya pernah beberapa kali kulihat di sekolah. Sementara yang lainnya mengenakan seragam yang berbeda.

Ck. Aku benci dengan situasi ini. Apalagi tampang mereka sama sekali enggak ada yang bersahabat. Aku takut mereka menggangguku. Kalau saja ada jalan pintas lain, jantungku tak perlu repot-repot berdentum kencang begini. Kertas A3 yang masih tergenggam kudekap semakin kuat. Kecepatan langkah kutingkatkan. Wajah tertunduk saat mereka mulai menoleh ke arahku. Ayolah, biarkan aku lewat dengan tenang.

Lihat selengkapnya