Aku menang.
Aku menang, ‘kan?
Aku berhasil mengalahkan anak-anak nakal itu. Aku berhasil membuat mereka takut. Dan mereka, mau melepaskan diriku. Justru tadi itu bukan aku yang berlari terpontang-panting. Tapi mereka, mereka yang kabur setelah aku berhasil melukai masing-masing kepala … tubuh … ah, aku enggak tahu lagi. Aku enggak mau ingat. Aku ketakutan sampai bulu kudukku meremang kalau mengingat kejadian itu.
Aku takut dengan diriku sendiri.
Gesekan kerikil yang terseret telapak sepatuku terdengar jelas. Langkah ini begitu gontai. Pagar rumah yang sudah di depan mata terasa sangat jauh. Hingga aku menyentuh permukaan kayunya, membukanya, sengaja memperdengarkan decitan halus seperti pintu usang pada rumah tua. Pandanganku yang kosong terfokus pada engsel pintu. Tangan terjulur hendak menggapai meski baru menginjaki bagian terdepan halaman.
Aku tahu pasti akan sia-sia juga mendorongnya. Pasti masih terkunci. Tapi aku tetap ingin memegangnya. Karena dengan begitu, aku sudah merasa berada di dalam rumah, merasa aman.
Ternyata dugaanku salah. Engsel ini bisa kutekan ke bawah. Terdengar bunyi klik pertanda pintunya tidak dikunci. Mataku membulat takjub. Biasanya bapak dan ibu akan menghabiskan banyak waktu kalau sudah pergi ke dokter.
Sebelum mendorong pintu untuk membukanya, aku membetulkan rambut yang berantakan, mengibaskan apa saja yang sekiranya menempeli area tubuh secara tak wajar, dan merapikan seragamku seperti sedia kala. Lalu aku membuka pintu pelan-pelan. Mengucapkan salam. Memanggil-manggil bapak dan ibu, tapi suasana rumah tetap lengang.
Samar-samar terdengar suara aneh dari arah dapur. Aku mendekat. Suara itu terdengar semakin jelas. Dari balik rak pembatas ruang makan dengan dapur, aku melihat bapak di dalam kamar mandi yang pintunya terbuka, sedang membungkuk. Posisinya membelakangiku. Ibu juga membungkuk di sebelahnya. Tangan bapak memijat-mijat tengkuk ibu. Mungkin untuk memperlancar muntahnya.
Selama mengandung adik, baru sekarang aku lihat ibu muntah separah ini. Bermenit-menit tanpa henti. Jeda sebentar, lalu muntah lagi. Pasti sakit sekali. Aku enggak tahan berlama-lama mendengarnya. Bukannya karena ikutan mual. Tapi aku enggak tega karena suara itu terdengar seperti rintihan kesakitan dari ibu. Jadi aku menderap ke lantai atas, ke kamarku. Mengurungkan niat menceritakan kejadian di jalan tadi pada mereka. Kunaiki tilam. Menyandarkan punggung ke dinding. Mengangkat kedua kaki hingga sejajar dengan dada. Memeluknya.
Sebelah tanganku masih menggenggam kertas bergambar diriku dengan adik. Kertas yang sekarang sudah begitu lusuh. Yang sudah terkoyak dan tercabik bagai hasil penyerangan binatang buas. Sambil meratapi senyum yang hilang di wajah kedua anak ini, otakku tanpa permisi memutar kembali rekaman kejadian saat aku melewati gang menuju rumah.
Kupejamkan mata kuat-kuat sambil menggeleng. Berusaha menghilangkannya dari pikiran. Dulu sekali, sewaktu aku masih tinggal di Indonesia, aku mengalami kejadian pelecehan serupa. Tapi yang melakukannya adalah orang dewasa. Pedofil. Beruntung saat itu bapak segera datang dan menjebloskan si pelaku ke penjara. Aku yang terguncang, setiap hari mendapat perhatian ekstra. Tak pernah luput dari pengawasan mereka. Hingga kami pindah ke Tokyo karena penugasan ayah—aku tidak tahu detailnya —hingga calon adik muncul dalam rahim ibu, seluruh pengawasan itu melonggar.
Aku tahu keadaan ibu saat ini sedang rapuh. Aku tahu seorang ibu hamil mesti lebih diperhatikan. Dan untuk beberapa waktu lamanya aku juga tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi sekarang … aku sangat ingin bercerita. Aku sangat ingin mereka mendengar setidaknya tentang perasaan sedihku. Aku sangat ingin mereka seperti dulu, selalu mengawasi dan tak pernah membiarkanku menangis.
Dengan posisi miring, kepalaku terjatuh lesu di atas lutut yang terangkat. Memandang nanar bercak-bercak darah yang menempeli ujung kuku. Aku menggosok-gosoknya. Ternyata sudah mengering.
Ah … aku baru ingat. Di gigiku juga pasti ada bekas darah. Aku sampai lupa. Lidah tak mendeteksi rasa amis darah saking terguncangnya aku akan peristiwa itu. Jemari kumasukkan dalam rongga mulut dan menggesekkannya ke gigi. Iya. Masih ada darah. Bercaknya menempeli punggung telunjukku.
Akan kubersihkan dulu sebelum bapak dan ibu sempat melihatnya.
***
Keesokan harinya aku tidak masuk sekolah. Badanku panas. Demam seharian. Untungnya tepat jam sembilan malam berangsur pulih. Jadi aku bisa segera bersekolah hari ini. Bapak cemas sekali dan merasa bersalah. Selama ini aku memang belum pernah pulang sekolah sendiri. Selalu diantar-jemput. Sekalinya mencoba mandiri seperti dua hari lalu, malah medatangkan malapetaka.
“Hari ini Kakak enggak boleh pulang sendiri lagi. Bapak bakal jemput Kakak seperti biasanya.”
Begitulah janji bapak. Tersirat perasaan bersalah dari mimik wajahnya. Tanpa bertanya pun, sepertinya bapak menyadari sesuatu terjadi padaku karena sejak saat itu aku jarang sekali bicara dan lebih sering murung. Padahal kemurungan sudah menghilang dari daftar ekspresi milikku sejak delapan bulan belakangan.
Aku pegang janji bapak. Aku menunggu sampai beberapa menit berlalu sejak berderingnya bel terakhir di sekolah untuk hari ini. Kakiku bergerak-gerak gelisah di koridor depan yang berhadapan langsung dengan gerbang sekolah. Kira-kira ini sudah jam berapa, ya?