Rasa sesak itu berangsur-angsur menghilang. Deru napas pelan-pelan memulih, kembali normal, terbuang tanpa beban seperti sedia kala. Aku memandang nanar pada tangan kanan yang sudah terangkat. Lalu fokus beralih pada bocah kecil yang belum juga jemu dari kubus rubikku. Dengan kaku, dengan penuh kehati-hatian, tanganku bergerak menuju sesuatu yang tak begitu menempel di tubuh adik. Helai rambut terluarnya.
Pintu berdecit terbuka. Suara ibu terdengar setelahnya.
“Adek di sini rupanya.”
Aku sedang mengelus puncak rambut adik tanpa menyentuh kepalanya ketika pintu itu terbuka lebar-lebar dan ibu mendekati kami.
“Adek, bobo siang dulu, yuk. Ibu udah siapin boneka kupu-kupu di tempat tidur Adek.”
“Aku enggak ngantuk lho.” Dengan suara imut itu, adik merajuk. Ia mengangkat kubus rubik bermaksud memberitahukannya pada ibu. “Ini, aku masih belum selesai main ini. Lagi seru.”
Ibu membungkuk. Memerhatikan kubus rubik yang lagi-lagi sudah dimainkan adik.
“Adek bawa aja mainan itu ke kamar. Biar enggak ganggu kakak. ‘Kan, kasihan, kakak udah ngantuk. Tuh, lihat.”
Aku gelagapan saat ibu tiba-tiba menoleh padaku. Sambil menunduk, kuangkat kaki satu-satu ke atas ranjang. Kuambil bantal, mendekapnya, lalu merangkak ke papan di ujung kepala tempat tidur. Dengan bersandar seperti orang yang kelelahan aku menguap beberapa kali.
“Oke.”
Adik menurut. Dia melompat turun dari ranjangku. Berlari-lari kecil menuju kamarnya—juga merangkap kamar ibu dan bapak.
Sepeninggal adik, ibu menoleh lagi padaku.
“Tadi Kakak seru banget ya main sama adek? Sampe dia enggak mau bobo siang begitu. Biasanya, ‘kan, tiap jam satu dia selalu masuk kamar ibu buat bobo.” Ibu berbasa-basi. Berusaha mengajakku bicara.
“Ibu ….”
Dengan volume sekecil itu saja ibu dapat mendengar lirihanku. Beliau duduk di sampingku dan menggenggam tanganku dengan antusias. “Iya, Kak, kenapa?”
Wajahku naik perlahan. Mataku tertaut pada sorot meneduhkan milik ibu.