Lagi-lagi terjadi.
Hasrat menggebu untuk sesuatu yang kelam dalam diriku berangsur-angsur menghilang, berganti dengan perasaan lain yang jauh berlawanan.
Mataku membulat atas adik yang masih menangis itu. Dia meratapi sakit entah di sekujur tubuh atau di bagian yang yang terbentur saja—belakang kepala dan bokongnya. Dari bawah tiang penyangga yang melintang horizontal, cepat-cepat kutarik adik dari belakang, membiarkan bokong dan kakinya terseret, juga tanpa sengaja membuat bagian belakang kepalanya terbentur lagi dengan penyangga horizontal itu.
Kuusap-usap kepalanya. Kutepuk-tepuk bagian kotor di bokong serta sisi belakang celananya. Tak lupa juga kuambil es krim yang sudah terjatuh, membawanya ikut serta keluar dari area permainan anak-anak ini. Sekarang aku sangat hati-hati mengangkat adik melewati pagar. Kulepaskan sampai kak kecilnya sudah benar-benar menapaki tanah. Barulah aku melompat ke samping.
Bersamaan dengan itu, sosok yang sudah sangat aku kenal memunculkan dirinya. Sosok itu adalah Miyoko. Menggandeng Shinjou yang sekarang sudah terlihat lebih besar. Mungkin kisaran enam tahun. Miyoko sudah tidak tinggal di sebelah rumahku lagi sejak dua tahun lalu. Dia sekeluarga pindah ke dekat taman ini agar bisa satu rumah dengan neneknya.
“Mei-chan! Hisashiburi!” [Mei-chan! Lama kita tidak bertemu!]
Walaupun berada di satu komplek, kami memang jarang bertemu. Lagipula jarak rumah kami dari ujung ke ujung. Jadi cukup jauh.
Miyoko mengganti mimik senangnya dengan kernyitan di kening.
“Tadi aku dengar suara anak kecil menangis dari sini. Berarti adikmu, ya? Dia kenapa?” Miyoko membungkuk dan bertanya lembut pada adikku. “Kau kenapa, anak manis?”
Bibir adik yang tertetuk bergetar. Tangisnya berhenti. Beralih dengan sesenggukan kecil serta linangan sisa air dari sudut matanya.
“Tadi dia jatuh dari ayunan.”
Miyoko melirik ke belakang bahuku. “Ayunan yang itu?” Aku menjawab dengan dua kali anggukan. “Pagarnya dikunci. Tapi kalian nekat masuk ke sana, ya?”