Forgive Me If I Made You Scared, My Lil Sister

Anis Maryani
Chapter #8

bagian kedua| Lagi-lagi dia membuatku kesal

Kalau boleh jujur, ini adalah festival kembang api pertama yang aku datangi. Aku memang enggak tertarik dengan keramaian. Tapi ... sebelumnya pernah sih datang ke beberapa jenis festival atas ajakan rekan kerja bapak. Kecuali festival kembang api tentu saja. Aku juga enggak tahu alasannya kenapa orangtua atau kolega bapak enggak pernah bikin rencana buat pergi ke festival ini. Padahal setahuku, banyak yang bilang hanabi[1] adalah festival paling seru di antara yang lain.

Bapak dan ibu mengantarku bersama adik sampai ke taman alun-alun kota. Dengan dibekali uang saku secukupnya, kami dilepas begitu saja. Festival ini memang dikhususkan untuk anak-anak sampai remaja terutama pasangan adik dan kakak. Sebetulnya para orang dewasa juga boleh menemani anak-anak mereka. Tapi, ibu-bapak bilang mau membiarkan kami berdua supaya saling membutuhkan jadi hubungan kami semakin erat. Ya sudahlah aku lagi enggak mau protes-protes.

Mereka menunggu kami di restoran tak jauh dari sana. Biasanya aku enggak boleh pegang ponsel kalau bukan untuk sekolah. Sekarang dikecualikan dulu. Bapak ngasih pesan supaya aku bisa jaga ponsel ini dengan baik. Digunakan seperlunya saja, terutama saat acara sudah selesai nanti, jadi bapak sama ibu bisa segera datang menjemput.

Tugasku bukan cuma menjaga ponsel. Yang paling utama dan terberat tentu saja menjaga adik super bawel ini. Sedari masuk gerbang taman dia terus menanyaiku macam-macam. Tentang mainan yang harus dia belilah, tentang bagaiman caranya menikmati kembang apilah …. Kenapa juga sih menanyakan hal enggak penting begitu. Aku diam saja selama dia bertanya. Selain karena tidak tahu, juga karena aku risih dengan pertanyaannya. Sampai akhirnya kusumpal saja mulut cerewet itu dengan es serut. Untung cukup membuatnya berhenti mengoceh.

Sambil berjalan menuju bibir sungai, aku melihat-lihat makanan serta aksesoris yang dijajakan di sini. Sesekali kuperhatikan sekumpulan orang yang berlalu-lalang, demi mencari Miyoko. Dominan di antara mereka mengenakan yukata[2] lengkap dengan geta[3] serta tas kain kecil tergenggam di tangan. Aku dan adik juga berpenampilan seperti itu. Rambut kami yang hanya sebahu pun digulung ke atas menyesuaikan dengan tampilan tradisional sosok wanita Jepang.

Aku yang menggenggami tangan adik, merasa seperti ditarik karena kaki kecilnya berhenti melangkah di belakangku. Dia menggumamkan keluhan sambil memandangi sesuatu dekat kakinya. Sorot mataku sontak terfokus pada sesuatu itu.

Es serutnya terjatuh. Lagi-lagi terjatuh. Lagi-lagi dia membuang sesuatu secara mubazir.

“Ambil.” Dengan nada dingin aku menyuruhnya.

Dia hanya mengerjap-ngerjap menatap mataku. Tangannya terlepas dari genggamanku, lalu berkata, “Nggak mau,” kemudian berlari melaluiku. Gerakan larinya sangat kecil dan terbatas karena pakaian yang dikenakannya itu. "Kakak tanggung jawab dong! Jangan buang sampah sembarangan!" Dia sengaja berteriak dalam Bahasa Jepang. Sengaja membuat orang-orang menoleh padaku, memberikan tatapan seolah aku tersangka yang patut diadili.

Sial. Aku membeku di tempat. Aku enggak bisa mengejar adik. Padahal ingin sekali kutarik dia dan memaksanya bertanggung jawab.

Lihat selengkapnya