Adikku memeluk lengannya. Wajah berlindung di balik lengan itu tak mau melihatku sedikit pun. Dan sesenggukan masih terdengar jelas.
“Aku kasihan sekali melihat adikmu menangis. Dia bilang tadi dimarahi habis-habisan olehmu. Padahal tidak sengaja menjatuhkan minuman.” Anak itu berdecak beberapa kali menyayangi perbuatanku. Seolah dia orang paling benar dan paling baik. “Seharusnya peringati saja adikmu secara baik-baik. Tidak perlu sampai emosi apalagi pakai kekerasan. Kau ini punya kelainan jiwa, ya?”
Kata itu memelesak masuk ke dalam dadaku. Rasanya seperti dihantam benda keras dan teramat berat. Kata menyakitkan itu santai sekali diucapkannya.
Apa ... dia enggak sadar ... kalau dia yang lebih pantas diberikan predikat kelainan jiwa?!
Kepalan tanganku semakin meremas kuat. Buncahan dalam diri tak tertahankan untuk meledak. Ingin membabi-buta memberikan pelajaran pada anak kurang ajar ini.
Sorot mataku yang terbeliak sedikit mengubah arah demi mengecek kondisi adik. Dia ketakutan. Agak gemetaran saat melihatku. Dia menatap, seolah akulah antagonisnya. Kalau kuubah kepribadianku menjadi bengis untuk melawan, maka citra bocah laki-laki ini akan semakin baik di mata adik.
“Sini. Kamu jangan dekat-dekat sama orang yang nggak dikenal. Dia nggak sebaik kelihatannya. Dia itu orang jahat,” rapalku dalam bahasa Indonesia agar tidak dimengerti si antagonis yang sesungguhnya. Kutarik-tarik lengan adik. Dia menempel sekali dengan anak laki-laki itu. Dia menggerutu, meneriakkan penolakan.
“Jangan dipaksa, dong.” Anak laki-laki itu menepis tanganku dari lengan adik. Dia mendelik, memberiku tatapan tajam, lalu berjongkok sambil menggenggam kedua pangkal lengan adik. Sorot matanya meneduh. Jauh lebih teduh dan bersahabat daripada yang pernah kulihat. “Adik manis, kau harus pergi bersama kakakmu. Nanti kalau dia nakal lagi, tinggal bilang aku saja, ya.” Dia menepuk-nepuk puncak kepala adikku. Tersenyum sangat manis dengan wajah yang seperti malaikat. Dan adikku ... ekspresi itu .... Selayaknya adik yang senang dilindungi kakaknya, dia menunjukkan mimik yang belum pernah diperlihatkannya padaku.
“Aku ingin terus bersama niichan![4] Aku tidak mau dengan kakak yang jahat!”