Jepit kupu-kupu itu sudah tak berwujud lagi.
Benda yang paling kusayangi, yang selalu dengan susah payah kujaga, berubah jadi kepingan-kepingan kecil dalam sekejap.
Aku berkedip, mematung, tanpa bisa bergerak sedikit pun. Lalu tatapanku terangkat. Beralih pada bocah yang sama terkejutnya denganku.
“Maaf ….” Kata itu terucap tipis dan sangat kecil. Aku sampai tidak tahu apa yang diucapkannya kalau tidak lihat gerakan bibirnya.
"Kata maaf nggak bisa ngembaliin wujud benda itu seperti semula,” sahutku dingin dengan rahang yang dikeraskan. Dia tidak mengerti seberapa hancurnya perasaanku. Sama hancurnya dengan benda yang sudah ia rusak.
Dia memang selalu menghancurkan kebahagiaanku.
Serpihan penjepit yang berserak di lantai kuraup dengan tangan. Mengambilnya asal lalu mendekati adikku yang memundurkan langkah. Kuhadapkan telapak tangan yang penuh dengan serpihan ini persis di depan wajahnya.
“Betulin! Cepet betulin ini! Kamu mau dapat maaf dariku atau nggak?!”
Tanganku gemetar. Mataku terbuka lebar-lebar. Sementara napasku menderu-deru. Sudah lama hasrat seperti ini kupendam dalam-dalam dan tak dimunculkan. Sudah hampir dua tahun berlalu sejak terakhir kali aku merasakannya. Terlebih akhir-akhir ini aku selalu diliputi kebahagiaan berkat si cowok misterius. Tapi sekarang, hasrat itu menyeruak timbul kembali. Hasrat untuk menyakiti adikku. Membuatnya merintih. Membuatnya menangis sejadi-jadinya.
Adik kehabisan langkah karena punggungnya sudah membenturi dinding. Isakan patah-patah perlahan terdengar.
Aku lemparkan kepingan dari telapak tangan ke wajahnya. Dia terperenyak, memekik memanggil ibu.
“Kalau kamu nggak mau ngebetulin jepitan itu …,” aku melirik gunting besar di atas meja rias di sebelahku, menyambarnya tanpa berpikir panjang, “kamu harus tanggungjawab dengan cara lain.”
Aku menggerak-gerakkan tuas gunting itu. Memotong-motong udara. Melihatnya menjerit-jerit ketakutan memberikan kepuasan tersendiri. Aku menyeringai kala dia berlutut, membenamkan kepala di antara kedua lututnya.
Ujung tajam gunting ini sudah hampir membelai lengan kecil adik, ketika derap langkah cepat dari luar terdengar. Karena panik, aku mengubah haluan gunting ke diriku sendiri. Menatap nanar ujung lancipnya yang seolah mengejek. Dengan takut, kuarahkan dia ke belakang, ke rambutku, dengan posisi mulut yang terbuka.