Forgive Me If I Made You Scared, My Lil Sister

Anis Maryani
Chapter #12

bagian ketiga| Akan kumaafkan adik, demi ibu

Seketika tepukan tangan terdengar di sekelilingku. Juga ucapan selamat ulang tahun. Dari ibu, bapak, ayahnya Ayumi … bahkan dari adik. Adikku yang semula kubuat ketakutan sekarang mengucapkan kata yang krusial itu. Tapi semuanya terdengar begitu jauh. Seolah berasal dari dimensi lain. Seolah gendang telingaku tidak tercipta untuk mendengar kata itu dari mereka. Sekarang, rungu ini dipenuhi oleh detakan keras dari jantungku.

Pelan-pelan kakiku mendekati dua gambar dekat patung elang itu. Mataku melebar tanpa berkedip, fokus memerhatikan detailnya. Satu kertas yang terkoyak ditempeli di atas kertas berwarna hijau muda yang ukurannya lebih besar, sehingga terlihat seperti bingkai. Ada koyakan di sisi lain yang membuat kertas gambar itu seolah dirusak secara sengaja, tetapi dalam pola yang teratur, sehingga memunculkan sisi seninya. Beberapa warna yang pudar terlihat diperbarui. Seperti warna rambut, baju, rerumputan serta taman yang menjadi latarnya, juga warna hewan-hewan kecil berbulu—kelinci dan hamster—di sekitarnya. Tetapi yang membuat aneh adalah pola asimetris disekeliling gambar itu. Tidak sesuai dengan tema gambarnya.

Lalu, gambar yang satunya lagi, yang hanya terdapat objek kepala di dalamnya ... jauh lebih buruk. Tentakel-tentakel yang bercabang dari kepala ditambahi bunga lengkap dengan sulurnya. Juga pepohonan rindang di sekitarnya seolah objek itu sedang berada di taman. Seharusnya nuansa gambar ini kelam. Maksudku, mengilustrasikan kerunyaman pikiran dari si pembuat. Juga ketertekanan batin. Tapi sekarang, lihatlah, gambar ini seolah datang dari seseorang dengan kondisi hati yang baik. Nuansanya berubah seratus delapan puluh derajat.

“Gimana? Bagus, ‘kan? Ini adek, lho, yang perbaiki.” Ibu memegang lembut bahuku, berbicara di dekat telingaku. “Yang punya ide buat pajang karya Kakak di sini juga adek. Dia itu sebenarnya perhatian banget lho sama Kakak.”

Nggak. Ini bukan bentuk perhatian. Tapi ejekan. Nggak seharusnya kedua gambar ini diperbarui secara asal, tanpa persetujuan si pemilik. Nggak seharusnya dibuat pengertian lain dari rencana awal saat akan digambar. Pesan yang disampaikan jadi berbeda.

Dan lagi … sampai dipajang di sini … jadi konsumsi publik begini ….

“Aku nggak suka.”

Ibu sedikit menjauhkan tubuhnya dariku. Memiringkan kepala seolah ia salah dengar. Seolah seharusnya aku tidak berkata demikian. Seolah semua yang dilakukan adik adalah benar.

"Aku … nggak suka!” Kata terakhir ini kuucap keras-keras. Lalu menghamburkan diri menyentuh kedua gambar itu. Aku tarik sampai terlepas dari dinding. Ibu meneriakkan namaku. Tidak habis pikir dengan apa yang kulakukan. Beruntung kedua gambar ini tidak dilapisi apa pun selain plastik pelindung debu. Jadi aku bisa dengan mudah merobeknya kuat-kuat. Gambar yang tidak wajar ini kurobek setelah plastiknya terlepas. Membuatnya menjadi sobekan-sobekan paling kecil.

Orang-orang yang semula memancarkan kebahagiaan dengan memberikan selamat ulang tahun padaku, kini mematung melihat kelakuanku. Masing-masing menampakkan ekspresi keterguncangan di wajah mereka. Ayahnya Ayumi yang terkejut karena aku membuat kekacauan lagi, bapak dan ibu yang mungkin terkejut karena menurut mereka aku telah mengkhianati kebaikan adik, juga adikku, yang lagi-lagi harus terisak atas perbuatanku.

“Kenapa dirobek, Kak …?” Adik bertanya disela isakannya. Bibirnya tertarik ke samping dengan lebar, seperti akan menangis kencang-kencang. “Padahal itu hadiah buat Kakak.” Selanjutnya ia menangis tersedu-sedu. Sudah tidak sanggup bicara lagi.

“Itu bukan hadiah namanya!” Adik berjengit karena terkejut dengan gertakanku. “Kamu itu mencuri karya aku! Padahal nggak seharusnya ada di sini! Kamu itu salah, ngerti?!”

Adik menghamburkan diri ke dalam pelukan bapak. Wajah cengengnya terlihat semakin jelek dengan bibir lebar itu. Sementara bapak, asap seperti mengepul di atas kepalanya. Amarah mendidih siap untuk dikeluarkan. Sebelum bapak sempat mengeluarkan sumpah serapah, aku memelesat pergi meninggalkan mereka, menuju pintu keluar studio. Aku berlari kencang tanpa peduli menyenggol ataupun menabrak staff yang berlalu-lalang. Mereka merapalkan kekesalan atas kecerobohanku.

Begitu mendekati ambang pintu, langkahku memelan. Dan berhenti ketika kaki ini menginjaki lantai kayu teras. Salju sudah mulai berjatuhan lagi. Mereka turun perlahan memberikan tanda bahwa waktu yang kupunya berjalan dengan lambat. Memberitahukan, bahwa lagi-lagi aku jatuh di titik yang sama. Titik di mana aku tidak bisa berdamai dengan emosiku sendiri. Di mana kondisi mentalku berguncang tanpa bisa dikendalikan.

Pandanganku mengabur. Luruhan salju dari langit bagai benda abstrak yang tak bisa kulihat dengan jelas. Aku menjatuhkan diri di sana, di lantai teras yang dingin. Memeluk kedua lutut sambil menujukan tatap pada butiran halus yang berjatuhan pada ujung sepatu.

Dunia ini gila. Tidak ada yang mengerti dengan perasaanku. Semua beranggapan bahwa tindakankulah yang paling salah. Padahal ini gara-gara mereka yang nggak mau peduli.

“Kakak ….” Suara lembut ibu terdengar. Langkahnya semakin mendekat ke arahku. Efek angin terasa ketika ibu menjongkokkan tubuhnya di sampingku. “Kalau Kakak duduk di sini, nanti kedinginan, lho. Yuk, duduk di sofa aja. Sini ibu bantu.” Aku tidak menolak saat ibu memegangi kedua lenganku untuk membantuku berdiri. Tidak ada respon penolakan sampai beberapa saat berikutnya. “Hup! Duh … anak ibu udah besar. Jadi berat banget ya sekarang.”

Lihat selengkapnya