Forgive Me If I Made You Scared, My Lil Sister

Anis Maryani
Chapter #13

bagian ketiga| Janji yang tak pernah bisa kutepati

Mataku membeliak. Atmosfer begitu kering sampai rasanya aku tak bisa bernapas. Seluruh darahku seolah tersedot keluar dari tubuh. Dadaku sesak. Sakit. Aku memeganginya sambil merunduk dan tersengal. Pening meradangi kepala hingga membuatku oleng. Beruntung pohon besar ini bisa menahanku. Tapi di sana … adikku … adikku tersayang … disakiti oleh laki-laki jahat. Tiga orang laki-laki.

Memoriku melayang pada kejadian yang dulu pernah kualami. Dilecehkan oleh laki-laki dewasa. Juga dilecehkan oleh anak-anak yang seharusnya menjadi teman sebaya. Kejadian pertama bisa dihentikan karena bapak datang tepat waktu. Kejadian kedua ... terhenti karena sesuatu dalam diriku memberontak.

Adik masih kecil. Meski tidak begitu dekat tapi aku tahu kepribadian adik sama sekali nggak terganggu. Meskipun aku sering membuatnya takut dan menangis … tapi aku tahu dia punya psikis yang normal. Dia nggak mungkin melakukan hal yang sama sepertiku.

Adik berteriak minta tolong. Tangannya dilipat ke belakang. Tubuhnya terjepit oleh dua tubuh yang tentu saja berkali lipat jauh lebih besar darinya. Aku nggak mau mereka menyakiti adik lebih dari ini. Apalagi dilecehkan.

Nggak akan pernah!

Bergegas kuambil batu paling besar di antara semak-semak. Berusaha kumendekat dengan meminimalisir suara gesekan antara tapak kaki dengan rerumputan. Tanpa berpikir panjang, kuangkat tangan yang menggenggam batu—susah payah karena batu ini begitu berat, menggeram, lalu melemparkannya sekuat mungkin.

Tepat sasaran. Batu itu membenturi bagian belakang kepala salah satu di antara para penjahat. Dia terpelanting ke depan. Mengerang. Memegangi kepalanya yang mulai berdarah. Dua penjahat lain serempak menujukan tatapan mereka pada arah datangnya lemparan batu. Menatap garang padaku, yang berdiri menantangi tanpa takut sedikit pun.

Hanase.” [Lepasin.] Aku mendesis. Suara yang keluar dari mulutku begitu rendah dan berat. “Atashi no imouto … hanase!” [Lepaskan ... adikku!]

Serta merta penjahat berbadan kekar mengambil langkah lebar-lebar menghampiriku. Ia bersiap menyerang tapi tanganku lebih dulu meraih matanya. Dua jariku mencolok bagian sensitif itu. Dia memekik. Pasti sakit sekali karena matanya sampai terpejam kuat. Kedua tangannya menutupi, berharap bisa meredam rasa sakit, tapi aku tahu itu pasti sia-sia.

Namun, tiba-tiba dia melayangkan tinju, tepat di wajahku wajahku. Aku tak bisa mengelak. Dia menyerang bahkan sebelum aku sempat sadar bahwa masih ada kedua tangannya yang siap melakukan perbuatan itu. Sebelum aku terjatuh karena tinjunya sangat keras, cepat-cepat dia raih kedua lenganku dan menguncinya ke belakang.

Aku juga nggak mau kalah cepat. Nggak akan mau mengalah. Maka dari depan, aku tendang kemaluannya keras-keras. Kutancapi kuku-kuku yang sengaja dipanjangkan ini ke permukaan kulitnya. Menariknya kuat, sampai bercak-bercak daging segar terlihat. Dia terduduk meringkuk. Meraung-raung seperti bayi.

“Kau gila! Kau gadis yang punya kelainan jiwa! Aaarghh ….”

Aku tersenyum puas. Menyeringai takjub atas apa yang sudah berhasil kuperbuat. Ini menyenangkan sekali. Perasaan ini memuaskan batinku lebih dari apa pun.

Tetapi aku nggak bisa bernapas lega dulu. Penjahat yang kepalanya berdarah-darah, rupanya masih kuat mengangkat tubuh dan berjalan ke arahku. Aku tersenyum mengejek. Apa dia pikir mau melawanku dengan kondisi begitu? Walaupun tubuhku sangat kecil jika dibandingkan mereka, tapi aku punya kekuatan yang nggak mereka miliki. Dan ini sangat membantuku untuk menang. Seperti kemenanganku saat melawan anak-anak nakal dulu. Jadi orang dewasa yang pengecut ini nggak punya kesempatan buat ngalahin aku.

Sebelah tangannya bergerak ke dalam saku celana. Pasti dia mau ambil pisau. Aku juga sudah menyiapkan batu besar lain yang sudah kugenggam di belakang punggung. Dia nggak akan sempat melukaiku dengan pisau, karena aku akan melemparinya dengan batu ini lagi terlebih dulu.

Tapi ternyata dugaanku salah. Bukan pisau yang kemudian keluar dari saku celannya. Namun ... sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih mematikan dari sekadar pisau, yang sekonyong-konyong pelurunya menancapi kepalaku.

Lihat selengkapnya