Kakak datang ke rumah hari ini seperti yang diucapkannya kemarin, bahwa dia akan meminta restu bapak untuk berangkat kembali ke tanah Arab. Tanpa ekspresi aku membukakan pintu untuk mereka, ya, kakak tidak sendiri. Dia bersama suaminya.
Aku tidak menyuguhkan apapun, justru kakak datang membawa buah tangan beberapa porsi bakso untuk santap siang kami. Sebelum masuk ke inti pembicaraan, kakak membicarakan hal lain sekadar basa basi.
Aku hanya menjawab seperlunya, tidak ada hal lain yang kurasakan selain rasa marah, kesal, sekaligus sedih kenapa kakak ingin berangkat lagi setelah keberangkatan sebelumnya yang tak membuahkan hasil. Rumah tidak punya, kendaraan habis tergadai, uang pun ludes tak bersisa. Aku tidak rela membayangkan uang hasil kerja kerasnya raib lagi dimakan si suami tak berguna itu.
Bakso sudah tersaji di mangkok, jika suasananya berbeda mungkin terlihat menggiurkan dan aku bisa menghabiskan sampai ke tetes terakhir kuahnya. Namun, siapa yang bisa makan saat hati tak keruan begini?
Selesai kakak membereskan tempat makan, dia mulai mendekati bapak dan mengutarakan niatnya serta tujuannya datang kemari.
“Pak, sebenarnya ke sini mau izin sama bapak. Esti mau berangkat lagi ke Arab, Esti minta ridho dan restu bapak.”
Untuk beberapa saat bapak terdiam, aku tidak berani melihat mata bapak, barangkali perasaannya sama seperti yang kurasakan sekarang atau mungkin lebih.