Forgive Me

NReeta
Chapter #2

Rumah Masa Kecil

Matahari menyelinap tanpa malu menerobos rumah kami, yang berarti satu petaka akan muncul jika hujan turun, jamur-jamur menempel di dinding menghasilkan udara lembap di seluruh ruangan. Lantai terlihat jelas jarang disapu, tapi aku tidak sampai hati harus berjalan-jalan dalam rumah dengan sandal sama yang juga kupakai di luar.

Aku tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan rumah ini, kekacauan terlihat di berbagai sudut. Sampah berserakan, piring kotor bertumpuk, makanan sisa sudah berjamur, aku melihat ada makhluk lain bersarang di sana. Baju kotor dalam ember besar di dapur, sebagian ada yang sudah direndam deterjen di kamar mandi, seperti bisa kuduga begitu kuangkat aromanya mengalahkan bangkai tikus.

Aku menghela napas dalam, belum dikerjakan saja tenagaku sudah terkuras duluan. Bapak tertidur lelap di sofa usang pemberian tetangga, lebih tepatnya barang buangan yang bapak terima begitu saja untuk meramaikan ruang tamu, sayangnya malah membuat rumah kian pengap. Seolah kekacauan ini tidak ada apa-apanya bagi bapak. Karena selalu ada pembantu gratisan untuk membereskan semua ini, siapa lagi kalau bukan aku.

Tiap akhir pekan kupakai untuk pulang ke rumah, tak pernah sekalipun kudapati dalam kondisi baik. Selalu begitu, kutinggalkan bersih rapi, pulang begini lagi.

Aku anak ketiga dari 4 bersaudara, semuanya perempuan. Kedua kakakku sudah berkeluarga diboyong suami masing-masing. Sedangkan si bungsu dalam pengasuhan kakak pertama, Esti Suryani. Seorang ibu rumah tangga beranak satu, baru-baru ini statusnya sudah berganti menjadi wanita karir. Kini dia bekerja sebagai perangkat desa di kampung halaman suaminya.

Kakak kedua bernama Pipit Puspitasari, ibu rumah tangga dengan dua orang anak. Berbeda dengan Kak Esti yang masih berada di Bandung bersama kami, hanya berbeda kecamatan saja. Kak Pipit dinikahi lelaki lintas pulau, mereka kini tinggal di Sulawesi Utara. Tiap dua tahun sekali kami bisa berkumpul bersama, itupun momen lebaran saja. Selebihnya hanya komunikasi via seluler.

Si bungsu, Arum Santika, masih duduk di bangku SMA.

Aku sendiri Walidah, sebuah nama dengan satu kata, kadang hal ini menimbulkan pertanyaan besar di benakku. Apa segitu tidak ada idekah sampai tidak ada nama panjang untukku?

Walau masih ada hal baik yang kudapat darinya, seperti menjadi si paling cepat mengisi kolom nama saat ujian.

“Dah, tuh liat bapak kamu, joroknya kebangetan. Baju coba, minimal abis mandi dikucek dulu biar gak capek gitu loh satu-satu, ini ditunggu dulu sampe numpuk. Kan, jadi males, ujungnya didiemin,” keluh Tante Gina.

“Ya, mau gimana lagi, Tan. Udah sering diingetin tapi gitu lagi, gitu lagi. Mana aku kerja, kan, pulang-pulang disodorin cucian. Hadeuh, pusing.”

Tante Gina istri dari adik bapak, seorang penjahit ulung. Bagian depan rumahnya dijadikan butik kecil-kecilan, walaupun begitu peminatnya cukup banyak. Seorang sosialita yang mudah bergaul, tidak heran ponselnya tiap hari berdering. Entah untuk bisnis atau sekadar berbagi info gosip terkini.

Karena ini rumah warisan kakek yang dibagi dua, rumah Tante Gina dan bapak berdempetan. Namun, layaknya langit dan bumi, nasib tante dan bapak berbeda jauh.

Lihat selengkapnya