Forgive Me

NReeta
Chapter #7

Roller Coaster

“Dah, besok lu bisa nggak gak pulang dulu, temenin gue main?”

“Gak bisa, mana ada duit gue.”

Thalia memamerkan 2 tiket masuk ke wahana bermain indoor theme park, aku menelan ludah. Kalau besok main cucian di rumah pasti numpuk banget, belum alat masak dan tempat makan, seminggu ditinggal saja kondisinya begitu apa jadinya kalau lebih. Biarpun dapat tiket gratis, pasti aku harus keluar ongkos perjalanan, belum lagi jajanannya. Mustahil, kan, sepanjang hari bersenang-senang dengan perut kosong.

***

Dan akhirnya aku sampai di taman bermain, setelah bergulat dengan dua pilihan berat bersamaan risikonya masing-masing. Apa salahnya sesekali aku memakai uangku sendiri sekadar melepas penat. Mencari hiburan, mengapresiasi diri karena sudah bertahan dan bersabar menghadapi realita kehidupan.

Aku mengetik beberapa kalimat kepada Tante Gina untuk disampaikan kepada bapak, aku tidak akan pulang dulu minggu ini. Namun, aku urung melakukannya. Mungkin aku terlalu berlebihan, bapak tak akan khawatir kalau pun aku tidak pulang.

Tante Gina memang selalu menjadi perantara komunikasi antara aku dan bapak, lain hal dengan Kak Esti dan Kak Pipit, mereka selalu menanyakan kabar bapak padaku.

Suasana wahana di sini membuatku terpesona, sekalipun aku belum pernah datang ke tempat begini. Dulu masa perpisahan sekolah SMA dilakukan di wahana bermain juga, tapi aku tidak ikut. Terkendala biaya. Rasa kecewa saat itu akan kubalas sekarang dengan bermain wahana sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya.

Thalia duluan yang menentukan permainan pertama yang akan kami coba. Dia mengajakku langsung ke wahana ekstrim, Giant Swing. Terus terang aku mengidap akrofobia, tapi aku tidak mungkin mengacaukan liburan hari ini karena ketakutanku. Ah, aku bilang pun Thalia pasti tak akan peduli. Tadi mengajak ke sini saja dengan sedikit paksaan berbumbu rayuan maut toping memohon-mohon.

“Ikut, ya, Dah, pliisss banget. Jarang-jarang loh, bisa datang ke tempat begini gratis pula, gue ongkosin, deh. Tuh, coba lu cek harga normal tiketnya, gue juga ogah kalo dateng pake duit sendiri.” Thalia memperlihatkan hasil pencariannya tentang harga tiket itu. Khusus buatku, si kaum mendang-mending harga segitu, sih, udah termasuk mahal.

Sensasi wahana ayunan raksasa ini aku diombang-ambing dengan putaran yang sangat cepat, jantungku berdetak kencang disertai keringat dingin menyerbak disekujur tubuh. Lututku lemas sekali, aku tarik niatku di awal. Dengan kondisi begini, gak yakin aku bisa menyelesaikan semua wahana yang tersisa. Wajahku pasti tak ubahnya mayat hidup, pucat pasi.

Lain dengan Thalia, dia tertawa, menjerit kesenangan entah wahananya atau melihat tampangku yang kacau. Keinginanku hanya satu, AKU MAU TURUN! Aku menjerit sampai tenggorokan kering.

Begitu turun, Thalia langsung mengajakku ke wahana ekstrim selanjutnya.

“Gue nyerah, Thal. Lu, aja, naik sendiri, gue tunggu di sini.” Aku bergegas mencari toilet terdekat, perutku tak tahan, makanan yang kumakan sedari pagi naik ke tenggorokanku.

Thalia ikut menemani. “Lu gak papa, kan?”

“Lu naik, aja, sana. Gue mau istirahat dulu, nanti lanjut lagi.”

“Beneran, ya, gue tinggal, nih.”

Aku mengangguk, mengangkat satu jempol.

Lihat selengkapnya